JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus menggodok Rancangan Undang-undang tentang Kesehatan (RUU Kesehatan) Omnibus Law.
Pada Rabu (5/5/2023), Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tersebut ke Komisi IX DPR RI.
DIM itu memuat perubahan aturan dari sedikitnya sepuluh undang-undang terkait kesehatan, di antaranya ketentuan tentang pemidanaan tenaga medis yang lalai.
Baca juga: Demo Tolak RUU Kesehatan dan Potensi Melemahnya Perlindungan Nakes
Sebelumnya, ihwal pemidanaan terhadap kelalaian tenaga medis telah diatur dalam Undang-undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 84 UU Nomor 36 Tahun 2014 menyebutkan bahwa setiap tenaga kesehatan yang lalai dan mengakibatkan pasien luka berat dipidana penjara paling lama 3 tahun.
Jika kelalaian berat itu mengakibatkan kematian pasien, tenaga kesehatan dipidana paling lama 5 tahun.
Baca juga: DIM RUU Kesehatan: Kemenkes Usul Surat Tanda Registrasi Nakes Berlaku Seumur Hidup
Ketentuan tersebut diubah dalam RUU Kesehatan. Merujuk DIM RUU Kesehatan, pidana bagi nakes yang lalai dan mengakibatkan pasien luka berat bukan lagi penjara 3 tahun, melainkan penjara maksimal 4 tahun.
Lalu, bagi nakes yang melakukan kelalaian berat sehingga menyebabkan kematian pasien, dipidana paling lama 6 tahun 8 bulan.
Untuk lebih jelasnya, berikut bunyi Pasal 84 UU Tenaga Kesehatan:
Sementara, berikut bunyi Pasal 462 DIM RUU Kesehatan:
Dalam DIM dijelaskan, pemidanaan terhadap tenaga kesehatan yang lalai itu disesuaikan dengan Pasal 475 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Aturan soal pemidanaan terhadap kelalaian nakes yang dimuat dalam RUU Kesehatan ini menjadi salah satu poin yang dikritik oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives atau CISDI.
Sebabnya, RUU Kesehatan sama sekali tidak menjelaskan definisi dari “kelalaian berat”. Penjelasan pasal dalam RUU ini juga tidak jelas sehingga dinilai berpotensi jadi pasal karet.
“Ini mengkhawatirkan karena selain berpotensi menjadi pasal karet, pasal ini juga berpotensi menimbulkan ketakutan di kalangan tenaga kesehatan,” demikian dikutip dari laman resmi CISDI.
“Walaupun prinsip kehati-hatian sangat penting dalam pemberian layanan kesehatan, CISDI melihat bahwa pasal ini dapat menimbulkan keraguan, berujung pada potensi over care yang malah menghambat akses ke layanan kesehatan,” lanjut siaran pers.
Baca juga: Soal RUU Kesehatan, DPR: Tidak Ada Liberalisasi Kesehatan dan Kriminalisasi Paramedis
Adapun RUU Kesehatan Omnibus Law sedikitnya melebur 10 undang-undang, di antaranya UU Nomor 4 Tahun 1984 terkait Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.
Kemudian, UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan, dan UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan, hingga kini pihaknya telah merangkum 3.020 DIM dari total 478 pasal yang ada pada RUU Kesehatan.
Baca juga: DIM RUU Kesehatan: STR Diterbitkan Lembaga atas Nama Menteri, Tak Lagi Konsil Nakes
“Sebanyak 1.037 DIM bersifat tetap, dalam arti mengonfirmasi dari DPR, 399 ada perubahan redaksional dan 1.584 ada perubahan substansi. Selain batang tubuh, kami memiliki penjelasan ada 1.488 DIM, 609 tetap, 14 DIM perubahan redaksional, dan 865 perubahan substansi," jelas Budi.
Penolakan terhadap RUU Kesehatan ini sendiri sedianya telah disuarakan oleh berbagai kalangan sejak lama. Bahkan, pada Senin (8/5/2023) kemarin, sejumlah organisasi profesi kesehatan menggelar aksi demonstrasi di Jakarta untuk menolak RUU tersebut.
Selain sejumlah pasalnya dinilai bermasalah, RUU Kesehatan juga dianggap tidak urgen. Pembahasan aturan tersebut juga dipandang terburu-buru dan tak melibatkan seluruh kalangan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.