Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohamad Burhanudin
Pemerhati Kebijakan Lingkungan

Penulis lepas; Environmental Specialist Yayasan KEHATI

Satwa Langka Bukan Barang Ekonomi

Kompas.com - 18/04/2023, 14:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari beberapa pengalaman pendampingan Yayasan KEHATI dalam perlindungan spesies di Sumatera dan Kalimantan, meskipun UU menegaskan hukuman penjara maksimal lima tahun, dalam praktiknya vonis yang kerap dijatuhkan hakim kepada pelaku perburuan tak lebih dari 2-3 tahun. Bahkan, di sejumlah kasus hanya di bawah dua tahun.

Ini seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Liwa, Lampung Barat, pada Februari 2017 lalu, di mana dua terdakwa perburuan Harimau hanya divonis satu tahun delapan bulan dan denda Rp 25 juta (Harian Kompas, 28 September 2017).

Ringannya vonis dan hukuman bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar menghilangkan efek jera para pelaku.

Eksploitasi ekonomi

Kepunahan dan hilangnya satwa langka dan ragam hayati di Indonesia sesungguhnya lebih dari sekadar permasalah perburuhan dan konflik satwa Vs manusia.

Di balik itu semua adalah hikayat tentang rusaknya hutan dan lingkungan hidup (ekologi) ketika harus bertarung melawan kepentingan dan kekuatan ekonomi.

Lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati di dalamnya tak hanya dikalahkan, tapi juga dieksploitasi demi mendongkrak pencapaian pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan akumulasi kapital.

Akibatnya, lingkungan hidup rusak, keanekaragaman hayati di dalamnya terdegradasi, bahkan, sebagian mengalami kepunahan.

Ekonom dari Universitas Cambridge Inggris, Partha Dasgupta, dalam kajiannya bertajuk “The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review” (2021), mengungkapkan, kebijakan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan PDB sesungguhnya tidak relevan lagi untuk menilai kesehatan ekonomi suatu negara karena tidak memasukkan depresiasi aset, seperti degradasi biosfer.

Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan semestinya adalah penyeimbangan kembali permintaan kita akan barang dan jasa dari alam dengan kemampuan alam untuk memasoknya.

Dengan demikian, kebijakan ekonomi dan lingkungan harus memperhatikan daya dukung alam. Termasuk di dalamnya mempertimbangkan adanya degradasi biosfer.

Dengan cara ini, kita dapat mengontrol perubahan lingkungan hidup kita dan melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati, termasuk satwa langka, lebih baik lagi.

RUU KSDHAE

Terkait kebijakan perlindungan sumber daya alam hayati, Indonesia sesungguhnya telah memiliki UU 5 Tahun 1990.

Namun, UU yang didesain lebih dari 33 tahun lalu tersebut dalam banyak hal dinilai telah tak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan tantangan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia.

UU KSDAHE tersebut juga dinilai tidak lagi bisa mengimbangi ancaman kerusakan pada hutan beserta keberadaan biodiversitasnya, termasuk kejahatan terhadap satwa liar yang meningkat 5-7 persen per tahunnya dengan modus yang kian canggih.

Hukuman yang diatur dalam UU tersebut juga tergolong rendah sehingga tak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan lingkungan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Nasional
Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Nasional
PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

Nasional
KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

Nasional
Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Nasional
Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Nasional
Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Nasional
Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Nasional
Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Nasional
Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Nasional
Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com