Dari beberapa pengalaman pendampingan Yayasan KEHATI dalam perlindungan spesies di Sumatera dan Kalimantan, meskipun UU menegaskan hukuman penjara maksimal lima tahun, dalam praktiknya vonis yang kerap dijatuhkan hakim kepada pelaku perburuan tak lebih dari 2-3 tahun. Bahkan, di sejumlah kasus hanya di bawah dua tahun.
Ini seperti yang terjadi di Pengadilan Negeri Liwa, Lampung Barat, pada Februari 2017 lalu, di mana dua terdakwa perburuan Harimau hanya divonis satu tahun delapan bulan dan denda Rp 25 juta (Harian Kompas, 28 September 2017).
Ringannya vonis dan hukuman bagi pelaku perburuan dan perdagangan satwa liar menghilangkan efek jera para pelaku.
Kepunahan dan hilangnya satwa langka dan ragam hayati di Indonesia sesungguhnya lebih dari sekadar permasalah perburuhan dan konflik satwa Vs manusia.
Di balik itu semua adalah hikayat tentang rusaknya hutan dan lingkungan hidup (ekologi) ketika harus bertarung melawan kepentingan dan kekuatan ekonomi.
Lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati di dalamnya tak hanya dikalahkan, tapi juga dieksploitasi demi mendongkrak pencapaian pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan akumulasi kapital.
Akibatnya, lingkungan hidup rusak, keanekaragaman hayati di dalamnya terdegradasi, bahkan, sebagian mengalami kepunahan.
Ekonom dari Universitas Cambridge Inggris, Partha Dasgupta, dalam kajiannya bertajuk “The Economics of Biodiversity: The Dasgupta Review” (2021), mengungkapkan, kebijakan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan PDB sesungguhnya tidak relevan lagi untuk menilai kesehatan ekonomi suatu negara karena tidak memasukkan depresiasi aset, seperti degradasi biosfer.
Pertumbuhan dan pembangunan ekonomi berkelanjutan semestinya adalah penyeimbangan kembali permintaan kita akan barang dan jasa dari alam dengan kemampuan alam untuk memasoknya.
Dengan demikian, kebijakan ekonomi dan lingkungan harus memperhatikan daya dukung alam. Termasuk di dalamnya mempertimbangkan adanya degradasi biosfer.
Dengan cara ini, kita dapat mengontrol perubahan lingkungan hidup kita dan melindungi ekosistem dan keanekaragaman hayati, termasuk satwa langka, lebih baik lagi.
Terkait kebijakan perlindungan sumber daya alam hayati, Indonesia sesungguhnya telah memiliki UU 5 Tahun 1990.
Namun, UU yang didesain lebih dari 33 tahun lalu tersebut dalam banyak hal dinilai telah tak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan tantangan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia dan dunia.
UU KSDAHE tersebut juga dinilai tidak lagi bisa mengimbangi ancaman kerusakan pada hutan beserta keberadaan biodiversitasnya, termasuk kejahatan terhadap satwa liar yang meningkat 5-7 persen per tahunnya dengan modus yang kian canggih.
Hukuman yang diatur dalam UU tersebut juga tergolong rendah sehingga tak menimbulkan efek jera bagi pelaku kejahatan lingkungan.