SEMINGGU sebelum hari Lebaran, dapur di rumah saya sudah mulai tampak rapi. Barang-barang yang tidak begitu perlu sudah dipindah ke belakang rumah. Ruang dapur tampak lebih lega. Urusan masak memasak untuk menyambut hari Lebaran rupanya akan segera dimulai.
Saya menduga tidak lama lagi aktivitas di dapur akan bertambah intens, walau pelaku utamanya hanya dua orang saja, yaitu istri dan anak gadis saya, tanpa asisten.
Pasalnya, rumah saya akan kedatangan adik-adik kandung beserta keluarganya pada Lebaran kali ini, setelah kakak kami yang tinggal sekota wafat setahun yang lalu.
Walau jumlah famili yang akan datang tidak begitu banyak, namun hidangan khas Lebaran perlu disajikan.
Kumpul, sungkeman ke orang tua (dahulu) dan bermaaf-maafan, serta makan bersama adalah tradisi keluarga yang setahun sekali dilakukan.
Hidangan Lebaran biasanya selalu sama, yaitu ketupat, opor ayam, telur petis, dan lain-lainnya.
Saya yakin keluarga-keluarga lain juga melakukan hal yang sama. Setiap hari Lebaran, sanak saudara berkumpul, dan banyak makanan terhidang, yang membuat perut kenyang dan hati senang, dan rindu pun terobati.
Secara hitungan di atas kertas, setiap keluarga, termasuk warga pra-sejahtera, bisa menikmati hidangan istimewa pada hari Lebaran.
Jumlah zakat dan sedekah yang terkumpul pada hari Idul Fitri seharusnya dapat terdistribusi ke seluruh kaum dhuafa (miskin). Belum lagi bantuan sosial yang diberikan pemerintah sebagai program rutin kepada keluarga yang kurang sejahtera.
Namun banyak keluarga yang tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi setiap hari, seperti pada saat hari Lebaran. Akibatnya banyak terjadi kasus kurang gizi, busung lapar, dan defisit protein.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan prevalensi/keberadaan anak balita yang mengalami stunting (tubuh cebol) di negeri ini masih tinggi, yaitu 21,6 persen pada tahun 2022, atau sekitar 5 jutaan anak. Pemerintah menargetkan angka stunting ini akan turun menjadi 14 persen pada 2024.
Target yang cukup ambisius ini masih kurang ideal, karena akan masih tinggi dibandingkan negara-negara lain seperti China (4,8 persen-2017), Singapura (4,4 persen-2000) atau Turkiye (6 persen-2018).
Jelaslah, diperlukan upaya besar bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mengurangi jumlah balita yang mengalami kekurangan gizi akut.
Kalau saja semua penerimaan zakat pada setiap Hari Raya Idul Fitri dapat digunakan untuk membantu keluarga yang tidak mampu, maka jumlah balita stunting tentulah akan cepat berkurang.
Mengurangi kemiskinan, sebagai penyebab kejadian stunting, memang menjadi salah satu misi utama sistem zakat, baik yang dilakukan secara terpusat oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun secara mandiri oleh setiap masjid.
Pada 2022, BAZNAS berkontribusi pada pengentasan kemiskinan 82.000 mustahik (orang yang berhak menerima zakat) fakir miskin, di mana 34.000 di antaranya merupakan mustahik miskin ekstrem.
Adapun bersama dengan seluruh pengelola zakat lain, BAZNAS berhasil mengentaskan 463.000 mustahik fakir miskin, di mana 194.000 di antaranya merupakan miskin ekstrem.
Dengan jumlah penduduk miskin nasional sebesar 26,36 juta orang (2022), BASNAZ dan seluruh pengelola zakat lain telah ikut menurunkan 1,76 persen angka kemiskinan nasional (BASNAZ, 2023).
Ke depan pendistribusian zakat mungkin perlu difokuskan pada keluarga yang memiliki balita stunting. Ini karena dampak stunting bagi penderitanya sangat buruk.
Menurut Tan Shot Yen, dokter sekaligus ahli gizi senior, dalam jangka pendek stunting dapat menyebabkan pertumbuhan fisik dan otak kurang optimal, kekebalan tubuh menurun, serta kemampuan kognitif dan prestasi belajar yang rendah.
Sedangkan dalam jangka panjang, stunting berisiko meningkatkan penyakit degeneratif, produktivitas ekonomi yang lebih rendah, dan kualitas kerja yang kurang kompetitif (Kompas.com, 23/12/2020).
Maka mengatasi masalah balita stunting identik dengan membangun manusia Indonesia yang kuat, secara mental dan fisik di masa depan.
Ibadah puasa yang dilakukan oleh umat Islam saat ini perlu menyadarkan kita pada banyak anak balita yang menderita stunting. Mereka perlu makanan yang bergizi, tidak hanya pada hari Lebaran saja, namun pada setiap hari.
Mereka berhak untuk memiliki masa depan yang cerah, yang berpotensi memberi kontribusi yang positif pada negara dan bangsa, sebagaimana anak-anak sebayanya yang beruntung tidak mengalami kekurangan gizi yang akut.
Semoga kita tidak melupakan jutaan balita stunting saat kita menikmati ketupat dan opor ayam pada hari Lebaran nanti, dan sesudahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.