Lalu ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, umat Islam Indonesia beribadah Shalat Id bersama dan saling bermaaf-maafan, baik dengan kaum keluarga, kerabat mapun dengan para sahabat kenalan seluruhnya.
Dalam konteks tersebut, mudik menciptakan kohesi sosial antaranggota masyarakat. Mudik menandai adanya perjumpaan antaranggota keluarga yang terpisah jarak, antarkeluarga bisa berkumpul di momen Lebaran, mereka saling memaafkan, saling berkunjung bersilaturahim, saling berbagi makanan dan lainnya.
Selama bertahun-tahun, tradisi mudik telah menjadi pilar kokoh tingginya kohesifitas sosial bangsa Indonesia. Kecenderungan individualistik sama sekali tidak memiliki ruang dalam budaya mudik.
Mudik memaksa orang untuk melek sosial, soleh sosial sekaligus mengikis sikap asosial anggota masyarakat. Alhasil, mudik adalah tradisi tahunan yang sangat penting bagi bangsa ini untuk meningkatkan kohesitas sosial warga bangsanya.
Bila ditilik dari sudut pandang ekonomis, mudik Lebaran memiliki makna yang sangat besar pula.
Disadari atau tidak, tradisi mudik dapat menjadi sarana work-life balance. Mengapa demikian? Sebab saat pulang kampung, para pemudik mendapat kesempatan untuk ‘melupakan sejenak rutinitas bekerja’ dan intens berinteraksi sosial dengan keluarga, kerabat, dan teman-teman lama.
Dengan begitu mudik menumbuhkan rasa kebersamaan dan kehangatan dan memperkuat soliditas sosial atau seleh sosial.
Selain menjadi sarana work-life balance, mudik Lebaran adalah momen penggairahan aktivitas ekonomi atau saya sebut saleh ekonomi.
Kenapa demikian? Segala sesuatu yang terkait dengan mudik Lebaran, mulai dari persiapan, perjalanan ke kampung halaman, berada di kampung halaman hingga balik kembali ke kota, adalah aktivitas berkaitan dengan ekonomi dan bisnis.
Menjelang mudik, para calon pemudik mengalokasikan biaya yang tak sedikit untuk berbelanja, baik untuk keperluan pribadi maupun belanja oleh-oleh untuk kaum keluarga dan kerabat di kampung halaman.
Aktivitas berbelanja masyarakat Indonesia selama Ramadhan dan menjelang Lebaran cenderung meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) memproyeksi transaksi di pusat perbelanjaan akan meningkat hingga 30 persen selama Ramadhan dan Lebaran 2023.
Padahal, jelang Lebaran tahun 2022 lalu, Mandiri Spending Index mencatat, indeks frekuensi belanja berada di level 179,4, sementara indeks nilai belanja naik ke level 159,9.
Indeks frekuensi belanja jelang Lebaran 2022 lebih tinggi dari musim Lebaran tahun 2021 (137,5) dan Lebaran 2020 di mana indeks ke 67,8 karena Ramadhan datang hanya sebulan setelah pandemi melanda dunia.
Pada musim mudik Lebaran 2022 lalu, Bank Indonesia menyebutkan perputaran uang mencapai Rp 180,2 triliun, meningkat 16,6 persen dibanding periode yang sama tahun 2021 sebesar Rp 154,5 triliun.