Situasi yang tidak berbeda jauh tentunya juga terlihat di Indonesia. Generasi produktif ini faktanya adalah calon pemilih terbesar pada pemilu tahun 2024.
Seperti disampaikan oleh anggota KPU August Mellaz, 60 persen pemilih pada pemilu mendatang adalah pemilih yang berusia 17-40 tahun (Media Indonesia, 1/4/2023). Sebagian besar calon pemilih ini tidak lain adalah pendukung sepak bola.
Untuk itulah, para politisi yang sebelumnya berlomba-lomba meraih simpati segmen ini berpotensi menemui kebuntuan.
Bahkan, solidaritas kelompok ini bisa menjadi gerakan perlawanan politik untuk menyasar pihak pihak yang dianggap telah berkontribusi mengganggu agenda sepak bola nasional.
Kita tentu berharap bahwa partisipasi politik dijalankan dengan melibatkan pertimbangan pertimbangan rasional.
Politik yang didasari oleh dorongan emosi sesaat kontradiktif dengan dimensi kedewasaan dalam berdemokrasi.
Kekecewaan yang dialami oleh pendukung bola nasional diharapkan juga disikapi secara rasional. Jangan sampai kekecewaan ini melahirkan satu perlawanan politik yang diekspresikan secara emosional.
Misalnya dengan semata menjatuhkan segmen politik tertentu yang untuk sesaat mereka nilai berkontribusi bagi gagalnya agenda sepak bola nasional.
Jikapun dilakukan, ekspresi tersebut harus lahir dari suasana deliberatif penanda kedewasaan kita dalam menjalankan demokrasi.
Sepak bola nasional memang berduka. Mimpi insan sepak bola nasional terkubur dalam sekejap mata. Namun keyakinan harus terus tertanam, bahwa cahaya cerah masa depan sepak bola nasional tetap menyala menunggu kita.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.