Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dodik Harnadi
Dosen

Dosen di STAI Attaqwa Bondowoso; Doktor Ilmu Sosial dari Universitas Airlangga.

Politik dan Potensi Pembalasan Pendukung Bola

Kompas.com - 03/04/2023, 10:01 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

NARASI sepak bola tidak bisa dilepaskan dari politik menjadi pemenang dalam palagan keriuhan pro kontra terhadap keikutsertaan Israel di Piala Dunia U20 Indonesia.

Upaya beberapa pihak untuk meyakinkan bahwa sepak bola semestinya harus dilepaskan dari politik berakhir antiklimaks dengan keluarnya keputusan FIFA yang membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah ajang sepak bola ini.

Bukan hanya gagal menjadi host, Indonesia hampir pasti gagal berpartisipasi karena status kepesertaannya memang diberikan dalam kapasitasnya sebagai tuan rumah.

Para politisi dan partai politik yang menyuarakan narasi pertama sebagai alasan menolak Israel sebetulnya perlu waspada. Narasi ini berpotensi menjadi bumerang bagi mereka.

Justru karena sepak bola tidak bisa dilepaskan dari politik, maka gerakan perlawanan politik pendukung bola dalam negeri menjadi mungkin mengarah kepada penyusutan suara elektoral mereka.

Kekuatan pendukung bola

Saat ini sekitar 3 miliar penduduk dunia menyukai sepak bola. Mereka mengidentifikasi diri sebagai bagian dari kesebelasan sepak bola tertentu.

Tidak penting seberapa dekat secara fisik dengan tim yang didukung, mereka memegang loyalitas tinggi untuk tetap mendukungnya.

Pendukung sepak bola bukan sebatas faktor komplementer dari sepak bola. Mereka adalah bagian inti dari sepak bola itu sendiri.

Tanpa dukungan pendukung, sepak bola berpotensi mengalami kelesuan. Saat pertandingan tidak bisa disaksikan oleh mereka, pengaruhnya cukup melambatkan denyut nadi sepak bola.

Sepak bola memiliki dunia sendiri dengan otoritas dan teritorialnya yang bahkan bisa memaksa negara-negara di dunia tunduk mematuhi aturan mainnya (rule of the games).

Intervensi negara terhadap ekosistem sepak bola merupakan tindakan yang paling dihindari otoritas sepak bola dunia.

Indonesia pernah mengalami langsung dampak intervensi pemerintah pada dalam kisruh sepak bola nasional 2015 menyebabkan FIFA mengeluarkan sanksi pembekuan kepada otoritas sepak bola nasional PSSI.

Maski sepak bola memiliki mekanismenya sendiri, namun kapitalisasi bola dan fans sepak bola dalam gerakan politik kenyataannya pernah terjadi.

Sepak bola terkadang juga menjadi simbol perlawanan politik, tribalisme, dan propaganda militer. Hal demikian menunjukkan dinamika politik dalam sepak bola (the politics of football) tidak bisa diabaikan (Power, 2020).

Hal ini terjadi karena sepak bola memiliki kekuatan dalam menggerakkan khalayak. Terutama mereka yang mengidentifiksi diri sebagai pendukung sepak bola.

Di Italia, saat terjadi kasus kematian pendukung Lazio Gabriele Sandri tahun 2007, para tifosi garis keras melakukan ekstensi perannya dengan menjadi simbol perlawanan terhadap aparat Italia yang dianggap represif (Testa, 2009).

Dengan demikian, terjadi transfigurasi gerakan pendukung bola menjadi gerakan sosial yang berhadap-hadapan langsung dengan represi negara.

Konsolidasi gerakan pendukung sepak bola sebetulnya merupakan bentuk pembalasan saat eksistensi mereka terganggu. Dengan kemampuan mobilisasi yang dimiliki, gerakan tersebut tidak sulit dilakukan.

Apalagi, organisasi pendukung sepak bola telah tertata sedemikian modern sehingga secara sistemis setiap gerakan yang muncul dari satu elemen berdampak kepada elemen lainnya.

Setelah Indonesia gagal jadi tuan rumah

Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U 20 bisa menjadi momentum kemunculan dua hal sekaligus.

Pertama, gerakan politik sepak bola nasional. Kedua, gerakan pembalasan melalui medan politik tersebut.

Munculnya dua gerakan ini adalah kalkulasi rasional melihat suara kencang penolakan tehadap kedatangan Israel datang dari beberapa politisi dan partai politik di Indonesia.

Pembalasan politik pendukung sepak bola nasional patut diwaspadai dalam kontestasi pemilu 2024 yang akan datang. Setidaknya, dua hal yang menjadikan potensi gerakan tersebut tidak bisa disepelekan.

Pertama, loyalitas dan militansi para pendukung bola tidak bisa disepelekan. Dalam banyak fenomena, loyalitas dan militansi ini dibungkus dalam kemasan fanatisme yang dalam beberapa sisi seringkali berlebihan.

Solidaritas yang terbentuk tidak hanya melahirkan ekspresi yang positif. Tidak jarang, solidaritas ke dalam (in-group) yang kokoh melahirkan ekspresi permusahan dan kebencian terhadap siapapun yang diangggap kontra identitas (out-group).

Dalam konteks politik, kondisi tersebut rentan dimanfaatkan. Di beberapa negara, bahkan di Indonesia, para politisi menyadari bahwa keberpihakan mereka sangat menguntungkan secara elektoral.

Karena itulah, mendekatnya para politisi untuk meraup simpati kelompok ini adalah kalkulasi rasional.

Kedua, Statista Research Department pada tahun 2022 merilis data riset yang menunjukkan distribusi usia pendukung sepak bola pada Piala Dunia 2018.

Sebanyak 29 persen adalah remaja berusia 16-24. Sebanyak 30 persen adalah mereka yang berusia 25-30 tahun.

Artinya, sekitar 49 persen dari pendukung sepak bola ini adalah generasi milenial yang lahir setelah tahun 1980.

Situasi yang tidak berbeda jauh tentunya juga terlihat di Indonesia. Generasi produktif ini faktanya adalah calon pemilih terbesar pada pemilu tahun 2024.

Seperti disampaikan oleh anggota KPU August Mellaz, 60 persen pemilih pada pemilu mendatang adalah pemilih yang berusia 17-40 tahun (Media Indonesia, 1/4/2023). Sebagian besar calon pemilih ini tidak lain adalah pendukung sepak bola.

Untuk itulah, para politisi yang sebelumnya berlomba-lomba meraih simpati segmen ini berpotensi menemui kebuntuan.

Bahkan, solidaritas kelompok ini bisa menjadi gerakan perlawanan politik untuk menyasar pihak pihak yang dianggap telah berkontribusi mengganggu agenda sepak bola nasional.

Mengedepankan kedewasaan

Kita tentu berharap bahwa partisipasi politik dijalankan dengan melibatkan pertimbangan pertimbangan rasional.

Politik yang didasari oleh dorongan emosi sesaat kontradiktif dengan dimensi kedewasaan dalam berdemokrasi.

Kekecewaan yang dialami oleh pendukung bola nasional diharapkan juga disikapi secara rasional. Jangan sampai kekecewaan ini melahirkan satu perlawanan politik yang diekspresikan secara emosional.

Misalnya dengan semata menjatuhkan segmen politik tertentu yang untuk sesaat mereka nilai berkontribusi bagi gagalnya agenda sepak bola nasional.

Jikapun dilakukan, ekspresi tersebut harus lahir dari suasana deliberatif penanda kedewasaan kita dalam menjalankan demokrasi.

Sepak bola nasional memang berduka. Mimpi insan sepak bola nasional terkubur dalam sekejap mata. Namun keyakinan harus terus tertanam, bahwa cahaya cerah masa depan sepak bola nasional tetap menyala menunggu kita.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com