Di Italia, saat terjadi kasus kematian pendukung Lazio Gabriele Sandri tahun 2007, para tifosi garis keras melakukan ekstensi perannya dengan menjadi simbol perlawanan terhadap aparat Italia yang dianggap represif (Testa, 2009).
Dengan demikian, terjadi transfigurasi gerakan pendukung bola menjadi gerakan sosial yang berhadap-hadapan langsung dengan represi negara.
Konsolidasi gerakan pendukung sepak bola sebetulnya merupakan bentuk pembalasan saat eksistensi mereka terganggu. Dengan kemampuan mobilisasi yang dimiliki, gerakan tersebut tidak sulit dilakukan.
Apalagi, organisasi pendukung sepak bola telah tertata sedemikian modern sehingga secara sistemis setiap gerakan yang muncul dari satu elemen berdampak kepada elemen lainnya.
Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U 20 bisa menjadi momentum kemunculan dua hal sekaligus.
Pertama, gerakan politik sepak bola nasional. Kedua, gerakan pembalasan melalui medan politik tersebut.
Munculnya dua gerakan ini adalah kalkulasi rasional melihat suara kencang penolakan tehadap kedatangan Israel datang dari beberapa politisi dan partai politik di Indonesia.
Pembalasan politik pendukung sepak bola nasional patut diwaspadai dalam kontestasi pemilu 2024 yang akan datang. Setidaknya, dua hal yang menjadikan potensi gerakan tersebut tidak bisa disepelekan.
Pertama, loyalitas dan militansi para pendukung bola tidak bisa disepelekan. Dalam banyak fenomena, loyalitas dan militansi ini dibungkus dalam kemasan fanatisme yang dalam beberapa sisi seringkali berlebihan.
Solidaritas yang terbentuk tidak hanya melahirkan ekspresi yang positif. Tidak jarang, solidaritas ke dalam (in-group) yang kokoh melahirkan ekspresi permusahan dan kebencian terhadap siapapun yang diangggap kontra identitas (out-group).
Dalam konteks politik, kondisi tersebut rentan dimanfaatkan. Di beberapa negara, bahkan di Indonesia, para politisi menyadari bahwa keberpihakan mereka sangat menguntungkan secara elektoral.
Karena itulah, mendekatnya para politisi untuk meraup simpati kelompok ini adalah kalkulasi rasional.
Kedua, Statista Research Department pada tahun 2022 merilis data riset yang menunjukkan distribusi usia pendukung sepak bola pada Piala Dunia 2018.
Sebanyak 29 persen adalah remaja berusia 16-24. Sebanyak 30 persen adalah mereka yang berusia 25-30 tahun.
Artinya, sekitar 49 persen dari pendukung sepak bola ini adalah generasi milenial yang lahir setelah tahun 1980.