PRESIDENTIAL Threshold (PT) telah diuji sebanyak 27 kali, sementara Mahkamah Konstitusi selalu konsisten menyatakan bahwa PT adalah konstitusional dan merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka).
Berdasarkan konsistensi tersebut, agak sulit untuk mencabut presidential threshold kecuali atas political will pembentuk undang-undang.
Pada sisi lain, terdapat residu yang amat fatal bagi partai baru yang memerlukan putusan arif dari MK untuk menanganinya.
Dalam permohonan No. AP3:9/PUU/PAN.MK/AP3/01/2023, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang notabene merupakan partai baru peserta pemilu menguji Pasal 222 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dengan argumentasi dan petitum yang segar dan berbeda daripada pengujian-pengujian sebelumnya. Saat ini, proses pengujian akan menjalani pemeriksaan persidangan.
Sebagaimana disampaikan oleh kuasa hukum PKN, Rio Ramabaskara: “..bagaimana mungkin pemilu akan adil, ketika dari proses pendaftaran parpol hingga mengambil nomor urut berjalan bersamaan, tetapi saat mengajukan capres diperlakukan diskriminatif."
Singkatnya, diskriminasi dalam PT terjadi bagi partai baru peserta pemilu. Sekalipun menempuh prosedur yang sama, tetapi tetap tidak bisa mendaftarkan calon presiden sebab tidak memiliki suara pada pemilu sebelumnya.
PKN pada perkara tersebut tidak menolak besaran persentase PT yang sudah dinilai konstitusional berkali-kali, namun memohon agar partai baru peserta pemilu (belum memiliki kursi dan suara sah nasional) dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden baik sendiri maupun bersama gabungan partai politik tanpa persyaratan. Petitum ini yang dimaksud penulis sebagai segar dan berbeda.
Terdapat tiga perbincangan dalam pengujian di MK yang secara substansial representatif untuk menggambarkan konsep dan batasan kebijakan hukum dalam sistem pemilu yang penulis sadur dari buku Kebijakan Hukum Terbuka karya Mardian Wibowo (2019).
Pertama, Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar dalam Putusan 072-073/ PUU-II/2004 menyatakan:
“Kebijakan hukum terbuka muncul manakala UUD 1945 memerintahkan pengaturan norma tertentu dalam bentuk UU, namun hanya memberikan arahan secara garis besar saja. Pilihan pengaturan detail merupakan wilayah terbuka atau bebas bagi pembentuk UU untuk menentukan selama masih dalam bingkai yang diatur UUD 1945.”
Kedua, Mahfud MD dalam Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan terkait open legal policy pemilu bahwa MK tidak menguji pilihan pembentuk UU mengenai sistem pemilihan umum, melainkan menilai apakah pilihan tersebut adil atau tidak.
Ketiga, Putusan MK No 104/PUU-VII/2009 bahwa Kebijakan Hukum Terbuka akan mencederai prinsip-prinsip konstitusi apabila dilakukan secara sewenang-wenang, melampaui dan/atau menyalahgunakan wewenang.
Pada intinya, batasan daripada kebijakan hukum terbuka sistem pemilu yang diberikan secara bebas kepada pembentuk UU untuk mengatur adalah ketika dilakukan secara sewenang-wenang melampaui, dan/atau menyalahgunakan wewenang.
Namun secara substansial, bagaimanapun sistem pemilu yang dianut dapat dinilai (dibatasi) secara adil atau tidak dalam penerapannya berdasarkan tafsir MK.
Adil atau tidaknya sistem pemilu harus dinilai dari implementasinya. Presidential threshold dengan Pemilu Serentak telah menghasilkan diskriminasi (ketidakadilan) ketika partai baru yang belum pernah mengikuti pemilu legislatif terjegal dalam pencalonan presiden dan wakil presiden dan berkompetisi secara tidak setara (tanpa calon presiden sendiri dalam pemilu) sebab residu dari sistem tersebut.