Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Fayasy  Failaq
Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan UGM

Pemerhati Konstitusi

Rasionalitas Pengecualian "Presidential Threshold" bagi Partai Baru

Kompas.com - 30/03/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PRESIDENTIAL Threshold (PT) telah diuji sebanyak 27 kali, sementara Mahkamah Konstitusi selalu konsisten menyatakan bahwa PT adalah konstitusional dan merupakan open legal policy (kebijakan hukum terbuka).

Berdasarkan konsistensi tersebut, agak sulit untuk mencabut presidential threshold kecuali atas political will pembentuk undang-undang.

Pada sisi lain, terdapat residu yang amat fatal bagi partai baru yang memerlukan putusan arif dari MK untuk menanganinya.

Dalam permohonan No. AP3:9/PUU/PAN.MK/AP3/01/2023, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang notabene merupakan partai baru peserta pemilu menguji Pasal 222 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu dengan argumentasi dan petitum yang segar dan berbeda daripada pengujian-pengujian sebelumnya. Saat ini, proses pengujian akan menjalani pemeriksaan persidangan.

Sebagaimana disampaikan oleh kuasa hukum PKN, Rio Ramabaskara: “..bagaimana mungkin pemilu akan adil, ketika dari proses pendaftaran parpol hingga mengambil nomor urut berjalan bersamaan, tetapi saat mengajukan capres diperlakukan diskriminatif."

Singkatnya, diskriminasi dalam PT terjadi bagi partai baru peserta pemilu. Sekalipun menempuh prosedur yang sama, tetapi tetap tidak bisa mendaftarkan calon presiden sebab tidak memiliki suara pada pemilu sebelumnya.

PKN pada perkara tersebut tidak menolak besaran persentase PT yang sudah dinilai konstitusional berkali-kali, namun memohon agar partai baru peserta pemilu (belum memiliki kursi dan suara sah nasional) dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden baik sendiri maupun bersama gabungan partai politik tanpa persyaratan. Petitum ini yang dimaksud penulis sebagai segar dan berbeda.

Open legal policy dan diskriminasi

Terdapat tiga perbincangan dalam pengujian di MK yang secara substansial representatif untuk menggambarkan konsep dan batasan kebijakan hukum dalam sistem pemilu yang penulis sadur dari buku Kebijakan Hukum Terbuka karya Mardian Wibowo (2019).

Pertama, Hakim Konstitusi Mukthie Fadjar dalam Putusan 072-073/ PUU-II/2004 menyatakan:

Kebijakan hukum terbuka muncul manakala UUD 1945 memerintahkan pengaturan norma tertentu dalam bentuk UU, namun hanya memberikan arahan secara garis besar saja. Pilihan pengaturan detail merupakan wilayah terbuka atau bebas bagi pembentuk UU untuk menentukan selama masih dalam bingkai yang diatur UUD 1945.”

Kedua, Mahfud MD dalam Putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 menyatakan terkait open legal policy pemilu bahwa MK tidak menguji pilihan pembentuk UU mengenai sistem pemilihan umum, melainkan menilai apakah pilihan tersebut adil atau tidak.

Ketiga, Putusan MK No 104/PUU-VII/2009 bahwa Kebijakan Hukum Terbuka akan mencederai prinsip-prinsip konstitusi apabila dilakukan secara sewenang-wenang, melampaui dan/atau menyalahgunakan wewenang.

Pada intinya, batasan daripada kebijakan hukum terbuka sistem pemilu yang diberikan secara bebas kepada pembentuk UU untuk mengatur adalah ketika dilakukan secara sewenang-wenang melampaui, dan/atau menyalahgunakan wewenang.

Namun secara substansial, bagaimanapun sistem pemilu yang dianut dapat dinilai (dibatasi) secara adil atau tidak dalam penerapannya berdasarkan tafsir MK.

Adil atau tidaknya sistem pemilu harus dinilai dari implementasinya. Presidential threshold dengan Pemilu Serentak telah menghasilkan diskriminasi (ketidakadilan) ketika partai baru yang belum pernah mengikuti pemilu legislatif terjegal dalam pencalonan presiden dan wakil presiden dan berkompetisi secara tidak setara (tanpa calon presiden sendiri dalam pemilu) sebab residu dari sistem tersebut.

Padahal, partai baru dapat menjadi harapan serta alternatif perubahan ketika terdapat ketidakpercayaan atas partai-partai lama.

Trabas kartelisasi parpol

Indikator Politik Indonesia (2022) yang melakukan survei kepercayaan terhadap 12 institusi secara nasional berkesimpulan bahwa partai politik (diisi oleh parpol lama) mendapat kepercayaan yang paling rendah (hanya 54 persen) daripada institusi lainnya.

Tentu saja distrust ini berbahaya. Sebagai institusi yang disebut sebanyak enam kali dalam batang tubuh UUD sudah sepatutnya berbenah, atau jika tidak, perlu ada pihak (gerakan politik) baru untuk membenahi.

Katakanlah, sebagus apapun calon presiden yang diusung oleh partai-partai lama, dapat memiliki distrust serupa oleh masyarakat yang justru kedepannya menghambat roda pemerintahan.

Kebijakan yang dikeluarkan sulit efektif, sebab kalau hendak diefektifkan, mindset masyarakat sudah tidak percaya lebih dulu.

Gerakan politik baru yang dapat mencalonkan presiden dengan mudah sepatutnya dapat menjadi solusi atas itu.

Kita bisa berefleksi akan kepercayaan bagi gerakan politik baru pada dua konteks. Pertama, di dalam negeri bagaimana kekuatan politik baru yang lahir sebagai kekuatan pascareformasi justru menghadirkan demokratisasi dari rezim politik lama orde baru.

Kedua, masyhur bagaimana gerakan politik baru dari rakyat yang menentang kekuasaan feodal di Perancis pada abad ke-18 melahirkan kontrak sosial sebagai konsep dasar kedaulatan rakyat.

Gerakan baru politik bisa dimulai sesederhana memberikan kebijakan afirmasi untuk dapat mencalonkan presiden khusus bagi parpol baru peserta pemilu.

Kebijakan tersebut adalah diskriminasi positif yang diberikan hanya diawal dalam konsep penyetaraan, bukan pengistimewaan.

Sebab, kita tidak pernah tahu dengan pasti seberapa besar dampak mudharat dari terjegalnya secara sistematik lahirnya kekuatan politik baru melalui pencalonan capres.

Kembali pada topik diskriminasi. Partai-partai penguasa parlemen saat ini patut dicurigai terkesan “seakan” berkongsi membiarkan kenyataan tercegahnya lahirnya kekuatan politik baru, sehingga “seakan” diskriminasi tersebut disengaja oleh parlemen.

Itulah mengapa Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator perlu lebih arif memutus sebab menjadi harapan terbaik untuk menerabas hal tersebut.

Kuskridho Ambardi (2008) dalam disertasinya “The Making of Indonesian Multi Party System” di Ohio University berkaitan dengan kartelisasi parpol di Indonesia, menyatakan arah partai politik di Indonesia secara perlahan dan berkelanjutan telah membentuk sebuah kerja sama yang menyampingkan perbedaan ideologi dengan tujuan mencapai kepentingan yang sama, yaitu menguasai sumber-sumber kekayaan negara.

Dampak daripada itu, menurut penulis, terbentuknya kartel. Parpol lama untuk kepentingannya seakan berkongsi mencegah lahirnya kekuatan politik baru agar dapat berkontestasi.

Senada dengan itu, Bivitri Susanti menyatakan presidential threshold menimbulkan keistimewaan bagi partai-partai tertentu (partai lama). Sebab, hanya partai-partai yang memenuhi ambang batas yang bisa berkompetisi secara langsung dalam pemilihan presiden.

Menurut dia, privilege tersebut yang melahirkan kartel politik.

Namun sampai di sini, PT tetaplah konstitusional dan merupakan sebuah open legal policy menurut Mahkamah. Amat baik jika persentasenya di-nol-kan, namun itu amat sulit.

Sebagai alternatif, potensi diskriminasi bagi partai baru harus ditambal melalui kebolehan pencalonan presiden pada kesempatan pertama untuk menerabas kartelisasi dan dampak buruknya.

Sebagai penutup, rekan-rekan mungkin khawatir bagaimana logika penguatan presidensial jika partai baru peserta pemilu boleh mencalonkan presiden dan kemudian terpilih.

Kekhawatiran presiden dari partai baru mendapat penolakan besar dari parlemen “mungkin” akan terjadi. Sebab, mereka tidak pernah memiliki kekuatan kursi di parlemen sebelumnya.

Namun penulis optimistis, kekhawatiran tersebut telah terjawab dengan sendirinya sebab sistem pemilu serentak menghasratkan terjadinya coattail effect di mana pemilih akan memilih partai sekaligus calon presiden yang diusung partai secara bersamaan.

Tersebut terbukti pada Pemilu serentak 2019. Sehingga lemahnya calon presiden terpilih dari partai baru dalam sistem presidensial akan sulit terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com