Padahal, partai baru dapat menjadi harapan serta alternatif perubahan ketika terdapat ketidakpercayaan atas partai-partai lama.
Indikator Politik Indonesia (2022) yang melakukan survei kepercayaan terhadap 12 institusi secara nasional berkesimpulan bahwa partai politik (diisi oleh parpol lama) mendapat kepercayaan yang paling rendah (hanya 54 persen) daripada institusi lainnya.
Tentu saja distrust ini berbahaya. Sebagai institusi yang disebut sebanyak enam kali dalam batang tubuh UUD sudah sepatutnya berbenah, atau jika tidak, perlu ada pihak (gerakan politik) baru untuk membenahi.
Katakanlah, sebagus apapun calon presiden yang diusung oleh partai-partai lama, dapat memiliki distrust serupa oleh masyarakat yang justru kedepannya menghambat roda pemerintahan.
Kebijakan yang dikeluarkan sulit efektif, sebab kalau hendak diefektifkan, mindset masyarakat sudah tidak percaya lebih dulu.
Gerakan politik baru yang dapat mencalonkan presiden dengan mudah sepatutnya dapat menjadi solusi atas itu.
Kita bisa berefleksi akan kepercayaan bagi gerakan politik baru pada dua konteks. Pertama, di dalam negeri bagaimana kekuatan politik baru yang lahir sebagai kekuatan pascareformasi justru menghadirkan demokratisasi dari rezim politik lama orde baru.
Kedua, masyhur bagaimana gerakan politik baru dari rakyat yang menentang kekuasaan feodal di Perancis pada abad ke-18 melahirkan kontrak sosial sebagai konsep dasar kedaulatan rakyat.
Gerakan baru politik bisa dimulai sesederhana memberikan kebijakan afirmasi untuk dapat mencalonkan presiden khusus bagi parpol baru peserta pemilu.
Kebijakan tersebut adalah diskriminasi positif yang diberikan hanya diawal dalam konsep penyetaraan, bukan pengistimewaan.
Sebab, kita tidak pernah tahu dengan pasti seberapa besar dampak mudharat dari terjegalnya secara sistematik lahirnya kekuatan politik baru melalui pencalonan capres.
Kembali pada topik diskriminasi. Partai-partai penguasa parlemen saat ini patut dicurigai terkesan “seakan” berkongsi membiarkan kenyataan tercegahnya lahirnya kekuatan politik baru, sehingga “seakan” diskriminasi tersebut disengaja oleh parlemen.
Itulah mengapa Mahkamah Konstitusi sebagai negative legislator perlu lebih arif memutus sebab menjadi harapan terbaik untuk menerabas hal tersebut.
Kuskridho Ambardi (2008) dalam disertasinya “The Making of Indonesian Multi Party System” di Ohio University berkaitan dengan kartelisasi parpol di Indonesia, menyatakan arah partai politik di Indonesia secara perlahan dan berkelanjutan telah membentuk sebuah kerja sama yang menyampingkan perbedaan ideologi dengan tujuan mencapai kepentingan yang sama, yaitu menguasai sumber-sumber kekayaan negara.
Dampak daripada itu, menurut penulis, terbentuknya kartel. Parpol lama untuk kepentingannya seakan berkongsi mencegah lahirnya kekuatan politik baru agar dapat berkontestasi.