Di Kota Tegal, Jawa Tengah, Wali Kota Dedy Son bersitegang dengan Wakil Wali Kota Muhammad Jumadi, baik secara personal maupun kedinasan.
Ruang kerja wakil wali kota sempat disegel paksa dan semua fasilitas wakil wali kota juga dilucuti oleh aparat suruhan wali kota. Sebaliknya wali kota sempat digerebek polisi karena tuduhan kepemilikan narkoba atas laporan wakil wali kota.
Di Aceh, Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar dan Wakil Bupati Firdaus SKM saling lapor ke polisi karena tuduhan pidana di antara mereka. Bahkan wakil bupati sempat mengancam akan membunuh bupati.
Padahal pokok pangkal persoalannya adalah proyek senilai Rp 17 miliar yang dianggap tidak transparan oleh salah satu pihak (Narasi.tv, 22 Februari 2023).
Di level provinsi, DKI Jakarta pernah punya cerita ketika Gubernur Fauzi Bowo dianggap tidak adil dalam membagi uang operasional kepada Wakil Gubernur Prijanto.
Di Kalimantan Barat, aroma disharmoni juga melanda pasangan gubernur dan wakil gubernur saat ini.
Partai-partai dalam “menggandengkan” calon selalu berbasis pada nilai elektoral semata tanpa mengedepankan persamaan ideologis bisa dianggap sebagai akar munculnya proses “talak tiga” dalam relasi kekuasaan lokal.
Tujuan partai berkoalisi di Pilkada selalu menargetkan kemenangan. Rumus termudah untuk menang adalah menggaet vote getters atau penarik suara.
Kalangan pesohor di layar kaca kerap direkrut partai untuk memuluskan jalannya kemenangan.
Tidak hanya menggaet selebritas, partai juga begitu pragmatis dengan menjodohkan kandidat dengan pertimbangan kekuatan finansial yang dimiliki calon.
Partai kerap berargumen, kekuatan “logistik” menjadi mantera ampuh untuk menang. Logistik bisa mengubah image pemilih untuk mencoblos pasangan calon kepala daerah.
Rumus vote getters + logistik = menang, selalu dijadikan kilah partai-partai dalam memajukan kandidat di pentas Pilkada.
Kasus yang terjadi di Indramayu, mengingatkan saya akan proses perjodohan pasangan Cagub dan Cawagub di salah provinsi di Jawa.
Kemampuan finansial yang dimiliki calon gubernur begitu fantastis sehingga bisa “mengaet” pasangannya yang berlatar belakang artis untuk berlaga.
Rumus menang akhirnya berhasil dibuktikan oleh pasangan ini walau akhirnya keharmonisan antara dwitunggal pemegang kekuasaan menjadi kenangan manis.
Partai-partai dalam proses rekrutmen calon kepala daerah tidak pernah berpikir panjang soal kelangsungan jalannya pemerintahan hingga akhir masa jabatan.
Alih-alih peduli dengan peningkatan kesejahteraan warga di daerah calon kepala daerah berkontestasi, partai begitu pragmatis dalam menuntut imbal balik transaksi pencalonan.
Faktor elektabilitas, popularitas dan kekuatan logistik selalu dijadikan tolok ukur partai-partai dalam memasangkan calon kepala daerah.