JAKARTA, KOMPAS.com - Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dipaparkan ancaman pidana penjara dan denda jutaan Rupiah bagi pihak-pihak yang berupaya menghalangi kampanye pada masa Pemilu 2024 mendatang.
Kampanye politik menjadi bagian penting dalam setiap ajang Pemilu.
Komisi Pemilihan Umum sudah mengatur durasi kampanye bagi setiap partai politik maupun kandidat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2024 mendatang.
Kampanye adalah komunikasi antara satu atau beberapa orang tertentu dengan tujuan untuk memengaruhi banyak orang.
Baca juga: Bawaslu Sebut Kampus Boleh Undang Peserta Pemilu: Untuk Pendidikan Politik, Jangan Kampanye
Selama kampanye politik misalnya, calon pemimpin biasanya akan menyampaikan orasi, janji, dan hasil pemikirannya di depan banyak orang.
Tujuannya hanya satu, untuk memperkuat dukungan dan agar ada semakin banyak masa yang mendukungnya untuk mencapai posisi tertentu.
Kampanye biasanya memang hanya dilakukan satu orang dan biasanya kegiatan ini hanya dilakukan orang yang mencalonkan diri.
Tujuannya agar semakin banyak orang mengenal percaya, dan mendukungnya. Namun, di balik seorang calon, ada lebih banyak orang lain yang bekerja di balik layar untuk memenangkan calon pemimpin tersebut.
Baca juga: Krisis Iklim Dianggap Genting, Harus Jadi Prioritas Kampanye Pemilu 2024
Tidak jarang para anggota partai juga menggaet rakyat untuk membantu kampanye di wilayah tempat dia tinggal agar orang-orang di wilayah itu, ikut mendukung calon pemimpin yang diusung oleh partai tersebut.
Ancaman sanksi bagi orang yang menghalangi kampanye pemilu tercantum dalam Pasal 491 UU Nomor 7/2017.
Bunyi Pasal 491 adalah, "Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta."
Lembaga yang diberi wewenang untuk mengadili tindak pidana pemilu adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Hal itu tercantum dalam Pasal 2 huruf b Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 1 tahun 2018.
Sedangkan laporan dugaan tindak pidana Pemilu diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan.
Baca juga: Wapres Tegaskan Masjid dan Rumah Ibadah Bukan Tempat Kampanye
Setelah diterima oleh Bawaslu dan perangkatnya, laporan dugaan tindak pidana Pemilu itu diteruskan kepada Polri paling lama 1x24 jam sejak laporan dibuat.
Jika bukti-bukti lengkap, maka kasus tindak pidana Pemilu itu diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di Pengadilan Negeri. Jika terdakwa tidak menerima vonis, dia bisa melakukan banding hingga Pengadilan Tinggi.
Nantinya Pengadilan Tinggi menjadi lembaga terakhir yang memutus banding dan mengikat serta tidak bisa dilakukan upaya hukum lain.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.