JAKARTA, KOMPAS.com - Seorang kepala desa bisa mendapat sanksi penjara hingga denda jutaan Rupiah jika melakukan tindakan atau mengambil keputusan yang menguntungkan atau merugikan peserta Pemilihan Umum (Pemilu) yang melakukan kampanye.
Dasar sanksi itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Ancaman sanksi bagi kepala desa yang melakukan perbuatan menguntungkan atau merugikan peserta Pemilu pada masa kampanye tercantum dalam Pasal 490 UU Nomor 7/2017.
Dalam pasal itu disebutkan, "Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00."
Kampanye politik menjadi bagian penting dalam setiap ajang Pemilu.
Komisi Pemilihan Umum sudah mengatur durasi kampanye bagi setiap partai politik maupun kandidat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pilpres 2024 mendatang.
Kampanye adalah komunikasi antara satu atau beberapa orang tertentu dengan tujuan untuk memengaruhi banyak orang.
Selama kampanye politik misalnya, calon pemimpin biasanya akan menyampaikan orasi, janji, dan hasil pemikirannya di depan banyak orang.
Tujuannya hanya satu, untuk memperkuat dukungan dan agar ada semakin banyak masa yang mendukungnya untuk mencapai posisi tertentu.
Baca juga: Bawaslu Sebut Kampus Boleh Undang Peserta Pemilu: Untuk Pendidikan Politik, Jangan Kampanye
Kampanye biasanya memang hanya dilakukan satu orang dan biasanya kegiatan ini hanya dilakukan orang yang mencalonkan diri.
Tujuannya agar semakin banyak orang mengenal percaya, dan mendukungnya. Namun, di balik seorang calon, ada lebih banyak orang lain yang bekerja di balik layar untuk memenangkan calon pemimpin tersebut.
Tidak jarang para anggota partai juga menggaet rakyat untuk membantu kampanye di wilayah tempat dia tinggal agar orang-orang di wilayah itu, ikut mendukung calon pemimpin yang diusung oleh partai tersebut.
Lembaga yang diberi wewenang untuk mengadili tindak pidana pemilu adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Hal itu tercantum dalam Pasal 2 huruf b Peraturan Mahkamah Agung (Perma) nomor 1 tahun 2018.
Sedangkan laporan dugaan tindak pidana Pemilu diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kecamatan.
Setelah diterima oleh Bawaslu dan perangkatnya, laporan dugaan tindak pidana Pemilu itu diteruskan kepada Polri paling lama 1x24 jam sejak laporan dibuat.
Baca juga: Partai Politik Boleh Sosialisasi Sebelum Masa Kampanye, Begini Aturannya
Jika bukti-bukti lengkap, maka kasus tindak pidana Pemilu itu diserahkan kepada jaksa penuntut umum untuk dilakukan penuntutan di Pengadilan Negeri. Jika terdakwa tidak menerima vonis, dia bisa melakukan banding hingga Pengadilan Tinggi.
Nantinya Pengadilan Tinggi menjadi lembaga terakhir yang memutus banding dan mengikat serta tidak bisa dilakukan upaya hukum lain.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.