JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Masinton Pasaribu mengatakan, DPR sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat kerap dianggap sebagai “macan ompong” atau pelengkap lembaga eksekutif, yakni presiden yang merepresentasikan pemerintah.
Anggapan tersebut, kata Masinton, kerap muncul lantaran tidak semua aspirasi masyarakat dapat diwujudkan sehingga terkesan diabaikan. Padahal, eksekusi atas aspirasi tersebut merupakan kewenangan lembaga eksekutif, bukan legislatif.
"Kendala yang sering kali dihadapi DPR adalah ketika kami menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah supaya dieksekusi, terdapat sejumlah pertimbangan dari pemerintah. Sebagian (aspirasi) bisa direalisasikan, tetapi ada pula yang tidak tereksekusi dengan berbagai pertimbangan," ujar Masinton kepada Kompas.com saat ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (1/3/2023).
Menurut politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) itu, seluruh fungsi-fungsi kenegaraan dapat berjalan baik apabila lembaga legislatif menjalankan perannya sebagai penyambung aspirasi rakyat dan pemerintah sebagai lembaga eksekutif mewujudkan aspirasi tersebut.
Baca juga: Hadiri Konsolidasi Akbar PDIP se-Malang Raya, Said Abdullah Ajak Kader Banteng Menangkan Pemilu 2024
"Jadi, DPR jangan dibilang macan ompong atau cuma tukang stempel pemerintah. Terkadang, DPR (masih dianggap) begitu. Padahal, DPR di era Reformasi saat ini berperan krusial dalam kenegaraan ketimbang DPR pada era Orde Baru (Orba)," ungkap legistlator dari Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta II (Jaksel, Jakpus, dan luar negeri) itu.
Masinton pun mengisahkan ketika dirinya berkecimpung sebagai aktivis mahasiswa yang konsisten menyoroti kinerja DPR era Orba. Salah satu hal yang mereka kritisi saat itu adalah fungsi DPR yang terkesan hanya sebagai "tukang stempel". DPR pada masa tersebut juga memiliki kewenangan terbatas.
Keterbatasan tersebut, kata Masinton, tak terlepas dari kekuasaan rezim Orba yang mengooptasi seluruh lini, termasuk partai politik (parpol) yang menduduki kursi legislatif.
"DPR dulu ada fraksi tanpa melalui pemilihan umum (pemilu), yakni fraksi ABRI. Berikutnya, tiga fraksi dari parpol Golongan Karya (Golkar), PDI, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP)," terang Masinton.
Baca juga: DPR Tunggu Surpres untuk Bahas RUU Perampasan Aset, Mahfud: Oke, Kita Ajukan Secepatnya
Ketiga partai tersebut, lanjutnya, memang lolos pemilu. Namun, pemilu yang dijalankan waktu itu tidak berlandaskan prinsip jujur dan adil (jurdil) seperti saat ini.
Lantaran kekuasaan yang mencengkeram kuat atas seluruh parpol, maka anggota DPR di era Orba sulit untuk (lantang) berbicara menyampaikan aspirasi rakyat.
"Alhasil, DPR kala itu hanya jadi (juru) stempel saja. Berbeda sikap atau mengkritisi pemerintah adalah hal tabu," jelasnya.
Setelah Reformasi, lanjut Masinton, fungsi dan peran DPR kembali berjalan sebagaimana mestinya, yakni sebagai kontrol terhadap kebijakan dan program pemerintah.
Baca juga: Anggota Komisi XI DPR Minta Dirjen Pajak Disiplinkan Para Pegawainya
Setiap kebijakan strategis dan keputusan politik tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh presiden atau pemerintah, tapi juga harus melalui persetujuan DPR. Hal ini termasuk pengangkatan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI), Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Hakim Agung.
"Kalau dulu kan, pemerintah ya pemerintah saja (bertindak atau memutuskan) sendiri. Kalau sekarang, harus ada persetujuan DPR," paparnya.
Hal itu, kata Masinton, salah satu wujud perubahan fungsi dan peran DPR dari era Orba ke Reformasi.
Dalam hal ini, DPR diberi sejumlah kewenangan sebagai bentuk pengejawantahan kedaulatan rakyat dalam melaksanakan fungsi-fungsi politik negara, yakni pengawasan, persetujuan, serta pembuatan undang-undang (UU), dan pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca juga: Curhat Kepala Otorita IKN ke Komisi XI DPR: Kami Anggaran Sudah Punya tapi DIPA Belum
“Negara monarki modern juga memiliki parlemen sebagai representasi kedaulatan rakyat. Perwujudan dari kedaulatan rakyat secara formal terletak di pundak DPR,” tuturnya.
Oleh sebab itu, menurut Masinton, DPR harus mampu mengartikulasikan kedaulatan rakyat dan aspirasinya.
"Saya melihat ada beberapa kemajuan dalam pengelolaan di parlemen modern yang semakin terbuka. Meski begitu, memang bertahap dan tidak bisa sekaligus," kata Masinton.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.