Melihat gaya hidup mewah para pengelola keuangan negara seperti pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Pajak, publik hanya bisa melongo dan kini dongkol setengah mati dengan ulah-ulah para pegawainya.
Hasil penelusuran KPK terbaru, ternyata nilai mutasi di 40 rekening milik Rafael Alun Trisambodo, istrinya yang bernama Ernie Meike Torondek, anak-anaknya serta pihak terkait mencapai Rp 500 miliar.
Edan dan ambyar jika hanya melihat pada satu sosok saja pada diri Rafael Alun Trisambodo.
Padahal harta yang dilaporkan ayah Mario Dendy Satrio tersebut ke LHKPN yang mencapai nilai Rp 56,1 miliar saja sudah “membelalakkan“ mata publik karena ketidakwajaran.
Saham Rafael yang ada di pengembang properti Green Hills Residence, Minahasa Utara, Sulawesi Utara disamarkan lewat kepemilikan istrinya.
Restoran Bilik Kayu Heritage yang berlokasi di Umbulharjo, Yogyakarta juga diduga sebagai “penyamaran” aset milik Rafael.
Bagaimana dengan yang lain, baik yang sudah masuk radar KPK atau masih adem ayem kongkalingkong dengan para wajib kakap maupun kelas teri?
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD telah mengirimkan laporan dugaan pencucian uang yang dilakukan 69 pegawai Kementerian Keuangan kepada Menteri Keuangan, Sri Mulyani (Kompas.com, 7/03/2023).
Apa yang dilaporkan Mahfud MD selaku Ketua Tim Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada Sri Mulyani sebetulnya bukan “lagu” baru.
Sejak September 2019, sebetulnya PPATK sudah melaporkan ke Menteri Keuangan. Entah mengapa, laporan itu tidak ditindaklanjuti.
Menurut analisa Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan dari kasus Rafael Alun Trisambodo terkuak pola “permainan” yang sengaja dilakukan oleh orang-orang Pajak untuk mengaburkan harta “jarahannya”.
Selain menyamarkan harta dengan menggunakan nominee atau perantaraan orang lain seperti cleaning service atau pedagang batu cincin, para penyuci uang yang bekerja profesional menggunakan konsultan pajak dan pengalaman pensiunan pegawai Pajak.
Belum lagi KPK juga menguak peran “geng” di lingkungan Pajak baik karena keterkaitan sesama alumni sekolah kedinasan atau sama-sama pernah di lingkungan kerja yang sama.
Persidangan kasus yang menjerat bekas Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak, Angin Prayitno Aji di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (8/3/2023), terungkap mengenai pola pembagian “jarahan” dan penyamaran aset milik pejabat Pajak.
Angin Prayitno Aji memerintahkan para bawahannya seperti kepala sub direktorat dan supervisor tim pemeriksa pajak untuk menerima fee dari para wajib pajak yang diperiksa.
Seperti pola bisnis profesional, Angin mengatur fee yang terkumpul separuhnya untuk para pejabat struktur seperti dirinya. Sisanya yang 50 persen silahkan dibagi untuk tim pemeriksa pajak (Kompas.com, 08/03/2023).
Dengan model pat gulipat seperti ini, dari 6 perusahaan wajib pajak dan satu orang wajib pajak saja Angin beroleh gratifikasi sebesar Rp 29,5 miliar.
Uang ini “dilarikan” Angin di antaranya melalui pedagang batu cincin membeli 101 bidang tanah dan bangunan, apartemen serta kendaraan.
Mungkin terlalu jumbo harta jarahan Angin, pedagang batu cincin tersebut sampai mengerahkan lima anaknya, menantu, adik ipar dan keponakannya untuk “menyembunyikan” harta jarahan Angin kemana-mana. Diduga, palakan Angin lebih besar dari angka yang disebut KPK.
Dengan berkaca dari kasus-kasus seperti Angin Prayitno Aji dan Rafael Alun Trisambodo di Pajak, atau Eko Darmanto di Bea Cukai serta temuan lama soal 69 pegawai Kementerian Keuangan yang dicurigai LHKPN-nya, menjadi tanya dan gugatan tentang fungsi Inspektorat di Kementerian Keuangan.
Apakah Inspektorat sudah berjalan sebagaimana tugas pokok dan fungsinya atau hanya menjadi pajangan semata?
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) mencatat ada 39 pejabat Kementerian Keuangan yang merangkap jabatan sebagai komisaris di Badan Usaha Milik Negara atau BUMN serta anak usahanya (Detik.com, 6 Maret 2023).