Mereka adalah pegawai eselon I dan II mulai dari wakil menteri hingga kepala biro. Dengan peran vital yang dimiliki Kementerian Keuangan sebagai pengelola keuangan negara, apakah rangkap jabatan tersebut tidak mengganggu kinerja “orang-orang hebat” ini?
Dengan fungsinya sebagai pengelola keuangan negara, mengelola pendapatan negara termasuk pajak, merumuskan kebijakan fiskal, serta mengelola aset negara harusnya para pejabat ini fokus bekerja dan tidak boleh bercabang pemikirannya.
Saya khawatir, bukan kinerja baik yang tercapai, tetapi yang ada adalah maksimalisasi pendapatan.
Berdasar temuan Seknas FITRA, penghasilan sebagai komisaris BUMN sangat fantastis melebihi gaji sebagai pejabat di Kementerian Keuangan.
Padahal tunjangan kinerja pegawai di lingkungan di Kementerian Keuangan sudah diistimewakan dan nominalnya jauh lebih besar dibandingkan pegawai kementerian lain atau badan negara.
Bagaimana kita bisa membayangkan, tugas Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan yang begitu beratnya masih juga merangkap sebagai Komisaris PT Penjamin dan Infrastruktur?
Dirjen Pajak masih bisa merangkap jabatan sebagai Komisaris PT Sarana Multi Infrastruktur dan Dirjen Bea Cukai menyandingkan bareng sebagai Komisaris BNI.
Belum lagi Dirjen Kekayaan Negara juga bertugas sebagai Komisaris Bank Mandiri, Dirjen Anggaran juga menggamit jabatan Komisaris PT Telkom.
Sekjen Kementerian Keuangan merangkap sebagai Komisaris PT Pertamina dan Wakil Menteri Keuangan juga didapuk sebagai Wakil Komisaris Utama PT PLN.
Seharusnya terkuaknya “kebobrokkan” di lingkungan Kementerian Keuangan ini dijadikan momentum untuk bersih-bersih diri secara menyeluruh tanpa terkecuali.
Pemerintah harus menghentikan rangkap jabatan komisaris yang begitu memusatkan kapital dan tunjangan di seluruh jajaran pejabat Kementerian Keuangan.
Sebaiknya hapuskan saja tunjangan kinerja yang terlalu diistimewakan untuk pegawai di lingkungan Kementerian Keuangan.
Ternyata tujuan untuk memberi keistimewaan tunjangan dengan maksud untuk mencegah perilaku koruptif terbukti tidak berhasil dan gagal total.
Semangat bersih-bersih diri tidak cukup sang menterinya dengan “menangis” atau pegawainya yang ketahuan menyesal dengan perasaan rasa bersalah di depan publik atau mematut diri di media sosial.
Pemecatan saja tidak cukup, tetapi harus disertai dengan hukuman maksimal, yaitu “memiskinkan” para pelaku melalui instrumen hukum yang tersedia.
Dulu kakek nenek saya kerap berpesan, hidup jangan bertujuan hanya mendapat materi saja tetapi jadilah orang yang bermanfaat bagi banyak orang susah.
Pesannya lagi, jika orangtua sudah berlimpah harta yang diperoleh dengan cara tidak benar, maka keluarganya akan menuai karma perbuatan orangtuanya. Karma dan balasan akan berlaku dalam kehidupan setiap manusia.
Kisah tragis kehidupan keluarga Rafael Alun Trisambodo hendaknya menjadi pembelajaran bagi kita semua.
Bersukurlah dengan yang apa kita miliki saat ini, yang kita peroleh dengan kerja halal dan susah payah. Jangan silau dengan harta bertabur yang dimiliki oknum pegawai Pajak atau Bea Cukai serta Kementerian Keuangan, yang diperolehnya dengan “mengembat” uang rakyat.
“Dulu saya bercita-cita menjadi polisi, tetapi setelah melihat kejadian yang menimpa Ferdy Sambo dan Teddy Minahasa saya jadi ogah menjadi seorang polisi. Kini saya bercita-cita menjadi pegawai Pajak atau Bea Cukai, bisa punya garta ratusan miliar rupiah tersebar di mana-mana. Punya motor gede dan mobil jeep Rubicon, walau dibeli dari petugas kebersihan yang tinggal di gang sempit”. – celoteh pengangguran kepada sarjana baru pencari kerja di sebuah warung kopi di sudut Semolowaru, Surabaya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.