Memang, peran Eliezier dalam membongkar kejahatan Sambo bersama Putri, sangat luar biasa. Andaikan bukan Eliezier, kejahatan Sambo bisa dengan mudah ditutupi dengan pelbagai alibi.
Andaikan bukan Eliezier, bisa jadi Sambo bersama Putri melenggang bebas dan mempecundangi kita semua.
Tanpa Eliezier, kebohongan demi kebohongan Sambo dan Putri, tentu masih beranak pinak dan melibatkan banyak pihak lagi. Sebuah kebohongan akan memunculkan kebohongan baru.
Eliezier sukses memutus mata rantai kebohongan yang sistematis itu.
Di antara semua kesaksian dan pengakuan jujur Eliezier di pengadilan, yang banyak menyingkap tirai kebenaran, adalah, penuturannya bahwa Sambo membuat skenario tembak menembak di rumah dinasnya, Jalan Duren Tiga, lantaran Yosua berusaha melakukan kekerasan seksual pada Putri.
Alibi ini tidak berjalan mulus dan pelik untuk memercayainya. Makanya, Sambo mengubah skenario bahwa kekerasan seksual itu justru terjadi di rumahnya di Magelang.
Di sinilah Sambo terperangkap dengan adagium klasik: “No crime is perfect.”
Dengan membangun alibi bahwa kekerasan seksual terhadap isterinya di Magelang, mematahkan semua alibinya bahwa ia emosional dan bereaksi seketika untuk menghukum Yosua karena harga diri dan keluarganya terusik.
Jarak kendaraan darat antara Magelang dan Jakarta, cukup jauh sehingga alibi emosi sesaat untuk mendapat pembenaran tindakan, tidak laku untuk dijajakan. Alibi tersebut gugur dengan sendirinya.
Lalu, saya teringat film klasik yang disutradarai oleh Alfred Hitchcock pada 1956, The Man Who Knew Too Much. Jangan-jangan Yosua dibunuh karena dia adalah The man who knew too much.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.