Di era post-truth, tulis cendekiawan Ekuador, Francisco Rosales (2017), apa yang tampaknya benar, menjadi lebih penting daripada kebenaran itu sendiri.
Kebenaran yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang bersumber pada rasio, fakta, dan objektivitas. Sementara di era post truth, "benar" adalah kategorisasi yang berdasarkan pada keyakinan diri, emosi.
Tolok ukurnya adalah "kebenaran saya", tidak perlu melalui tahapan uji publik dan diskursus. Akhirnya, fakta objektif kurang berpengaruh terhadap opini publik daripada seruan terhadap emosi dan kepercayaan.
Dalam situasi politik yang bersumber pada "kebenaran saya", maka sesuatu yang bertentangan dengan "kebenaran saya" boleh dibasmi dengan cara apapun termasuk dengan cara menyebarkan kebencian, persekusi, dan hoaks. Itulah awal mula dari lahirnya barbarisme dalam politik, sumber bagi kekacauan sosial.
Dan, ketika kondisi "kebenaran saya" tersebut dimanfaatkan oleh politisi demagogis, tokoh populisme (baik yang berada di kekuasaan maupun dalam masyarakat), maka yang akan terlihat adalah realitas sosial politik yang sangat dekonstruktif bagi kenyamanan sosial-kemasyarakatan.
Oleh karena itu, iklim demokrasi yang memberi ruang pada pertukaran gagasan yang sehat, terbuka, dan akuntabel, akan memungkinkan terjadinya demokrasi berbasis kecerdasan publik yang matang dan berkualitas.
Kualitas kecerdasan publik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana setiap warga mengerahkan segenap potensi kognitifnya dalam mengambil keputusan (decision making process).
Sebagaimana ditulis oleh filsuf Amerika Serikat John Dewey bahwa yang terpenting dalam sebuah rezim demokrasi bukanlah hasil akhir sebuah keputusan, melainkan proses terjadinya dialektika pertukaran gagasan yang mengantarkan pada pilihan warga yang sudah teruji.
Inilah sebenarnya inti persoalan demokrasi kita. Demokrasi di negeri kita nampaknya baru sebatas demokrasi mayoritarian, bukan demokrasi yang mencerminkan kecerdasan publik dalam pengertian yang sesungguhnya.
Dalam konstruksi demokrasi semacam ini, pilihan warga sering kali ditentukan oleh hal-hal lain di luar aspek rasionalitas, seperti perasaan suka atau tidak suka, favoritisme, dan primordialisme.
Dalam demokrasi berbasis kecerdasan publik, kualitas pilihan ditentukan oleh ketundukan rasional-kognitif warga pada hal-hal yang bekerja di atas prinsip kemasukakalan (commonsensicality).
Pendek kata, hal penting yang perlu diperhatikan oleh masing-masing kontestan dalam setiap laga demokratis, baik pemilihan presiden (pilpres) atau pemilihan kepala daerah (pilkada), misalnya, kompetisi adalah tentang bagaimana menundukkan kognisi warga pemilih melalui sebuah skema terstruktur dan terukur tentang Indonesia atau daerah yang lebih baik ke depan berdasar atas kalkulasi-kalkulasi rasional alias tentang berbagai sudut pandang yang mengupas berbagai persoalan yang membelit bangsa ini beserta tawaran solusinya.
Skema semacam ini menjadi penting di tengah absennya peta jalan menuju Indonesia atau menuju daerah yang sejahtera dalam perspektif yang lebih realistisis, terukur, dan dapat dicapai (achievable), bukan sekadar janji-janji retoris yang lazim dijual para juru kampanye (Jurkam) pemilu.
Nah, jalan demokrasi deliberatif semacam inilah sebenarnya yang harus diambil oleh DPR saat ingin memutuskan apakah sistem pemilu kita akan tetap menggunakan proporsional terbuka atau mengubahnya menjadi proporsional tertutup.
Indonesia telah melalui pemilihan langsung dengan sistem proporsional terbuka beberapa kali. Pemilih sudah mulai terbiasa dengan calon-calon anggota legislatif yang langsung mereka pilih.