"Andalkan kedekatan dengan elite seperti Hasto, begitu ketahuan, komisioner KPK ditangkap, tapi dianya sampai saat ini masih buron," kata Herzaky.
Herzaky juga menyindir Hasto yang menuduh Pemilu 2009 curang, sedangkan Mahfud sebagai Ketua MK saat itu, kini menjadi rekan koalisi sebagai Menko Polhukam di Kabinet Indonesia Maju Presiden RI Joko Widodo.
Menurutnya, PDI-P masih sakit hati karena kalah pada Pemilu 2009. Ia membandingkannya dengan sikap lapang dada Demokrat ketika gagal bicara banyak di Pemilu 2014 dan 2019.
"Kami ikhlas, menerimanya dengan lapang dada, mengevaluasi internal kami. Tidak menuduh-nuduh orang lain, seperti yang selalu Hasto lakukan," ujar Herzaky.
"Kalau omongan orang yang berkompeten menyampaikan Pemilu 2009 curang atau tidak, profesor pula, teman di kabinet pula, masih tidak mau didengarkan, apa lagi yang mau kita komentari?" katanya.
Gugatan terkait sistem pileg pada rezim SBY itu didaftarkan sebagai perkara nomor 22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU-VI/2008.
Pada perkara nomor 22, penggugat adalah calon legislatif dapil 1 Jawa Timur dari PDI-P, yakni M. Sholeh.
Sementara itu, pada perkara nomor 24, penggugat adalah 2 kader Demokrat yang menjadi caleg dapil VIII Jawa Timur yaitu Sutjipto dan Septi Notariana, serta Jose Dima Satria sebagai pemilih pada Pemilu 2009.
Baca juga: Soal Desakan Copot Kepala BRIN, PDI-P: Itu Akibat Proporsional Terbuka
Salah satu pasal yang jadi fokus gugatan adalah Pasal 214 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
Keberadaan pasal ini dinilai tidak menjamin caleg dengan suara terbanyak di dapil itu berhak atas kursi di DPR RI. Saat itu, metode konversi suara menjadi kursi parlemen masih menggunakan metode Kuota Hare, dengan ciri khas bilangan pembagi pemilih (BPP).
Masalahnya, beleid itu mengatur, nomor urut caleg lebih utama dari suara caleg. Adapun caleg harus melampaui 30 persen BPP untuk dapat melenggang.
Ini artinya, terdapat standar ganda dalam sistem proporsional daftar calon terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2024.
Di satu sisi, pemilih dapat mencoblos caleg pilihannya di surat suara. Namun, partai politik tetap berwenang menentukan siapa kadernya di DPR melalui nomor urut. Kewenangan besar partai politik ini merupakan sesuatu yang khas dalam sistem proporsional daftar calon tertutup.
"Upaya pemohon menjadi sia-sia apabila hanya mendapatkan suara 29 persen dari BPP. Sebab jika mengacu pada pasal a quo maka penentuan untuk dapat menjadi anggota legislatif akan dikembalikan pada nomor urut," kata Sholeh dalam permohonannya.
"Begitu juga, jika pemohon mendapatkan suara di atas 30 persen, tetap saja jika di nomor urut lebih kecil yang suaranya 30 persen. Penentuannya dikembalikan pada nomor urut kecil yang mendapatkan suara 30 persen," lanjutnya.