Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saling Tuduh PDIP-Demokrat soal Gugatan Sistem Pemilu, Bagaimana Faktanya?

Kompas.com - 20/02/2023, 15:11 WIB
Vitorio Mantalean,
Bagus Santosa

Tim Redaksi


JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) saling balas komentar terkait sistem pemilu legislatif yang kembali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).

Mulanya, Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat sekaligus Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono menulis keterangan yang pada intinya mempertanyakan urgensi pengujian sistem pemilihan legislatif (pileg) di MK pada saat tahapan pemilu sudah berlangsung sejak 14 Juni 2022.

Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto menyambut pertanyaan SBY itu dengan menilainya inkonsisten. Sebab, pemerintahan SBY pada 2008, terdapat pula gugatan atas sistem pileg di MK, yang bertujuan agar yang terpilih merupakan caleg dengan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut.

Baca juga: Gugatan Soal Sistem Pemilu Proporsional Terbuka Masih Berproses, Ketua MK Minta 14 Penggugat Menunggu

Dalam konteks uji materiil nomor 114/PUU-XX/2022 soal sistem pileg yang kini bergulir di MK saat ini, PDI-P menjadi satu-satunya partai politik parlemen yang secara resmi mendukung kembalinya sistem pileg proporsional daftar calon tertutup.

Hasto pun menyindir SBY yang lupa sejarah bahwa judicial review sejenis pernah dilakukan di tengah tahapan Pemilu 2009. "Itu hanya beberapa bulan, sekitar empat bulan menjelang pemilu yang seharusnya tidak boleh ada perubahan,” kata Hasto di Lebak, Banten, Minggu (19/2/2023).

Hasto malah menuding uji materiil itu bagian dari strategi jangka pendek Demokrat untuk meraih kemenangan. Tetapi, Hasto tak menyebut bahwa pada 2008 itu, Sholeh yang notabene caleg PDI-P juga terdaftar selaku penggugat dan gugatannya dikabulkan Mahfud.

Hasto juga menuding SBY dan Demokrat melakukan kecurangan untuk menang Pemilu 2009.

"Mustahil dengan sistem multi partai yang kompleks suatu partai bisa menaikkan suaranya bisa 300 persen dan itu tidak mungkin terjadi tanpa kecurangan masif, tanpa menggunakan beberapa elemen dari KPU yang seharusnya netral. Dan itu dipakai, dan dijanjikan masuk ke dalam kepengurusan partai tersebut,” kata dia.

Baca juga: Tak Ingin Ambil Pusing Soal Proporsional Tertutup atau Terbuka, Amien: Apapun Kita Berani

Ia kembali menegaskan sikap PDI-P saat ini yang menyatakan bahwa sistem proporsional daftar calon terbuka menimbulkan liberalisasi politik dan memicu dominasi peran kapital dalam pemilu. Sehingga pihaknya mendukung proporsional tertutup.

“Ada investor-investor yang menyandera demokrasi. Jadi Pak SBY sebaiknya ingat bahwa liberalisasi itu justru tejadi pada masa beliau. Ketika undang-undang digerakkan untuk kepentingan kekuasaan bagi partainya, yang dilakukan sering kali melanggar aspek-aspek kepantasan, aspek etika,” ujarnya.

Demokrat komentari Hasto

Koordinator Juru Bicara Partai Demokrat Herzaky Mahendra Putra merespons hal tersebut dengan mengatakan bahwa Hasto sebagai orang yang kerap menuduh dengan omong kosong tanpa berdasarkan fakta dan data.

"Pertama, Hasto selalu menuduh Pemilu 2009 di era Pak SBY curang. Padahal, fakta kecurangan pemilu jelas-jelas terjadi di Pemilu 2019. Pelakunya kadernya Hasto, bernama Harun Masiku, dan masih buronan sampai dengan saat ini. Sudah lebih dari 1.000 hari. Sedangkan Komisioner KPU terkait kasus ini sudah ditangkap dan dihukum. Apa kabar Harun Masiku, Hasto?" ungkap Herzaky dalam keterangan tertulisnya, Senin (20/2/2023).

Baca juga: Sekjen PDI-P Nilai Sistem Proporsional Terbuka Sarat Kepentingan Elektoral, Singgung Banyaknya Korupsi

Tak berhenti di sana, Herzaky mengaku khawatir semakin banyak Harun Masiku lain bermunculan karena sistem proporsional daftar calon tertutup.

Sebagai informasi, Masiku merupakan buron karena diduga menyuap penyelenggara pemilu untuk menetapkan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2014-2019.

Eks anggota KPU Wahyu Setiawan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan atas peristiwa ini. Sementara itu, eks anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina divonis 4 tahun penjara ditambah pidana denda yang sama dengan Wahyu.

"Andalkan kedekatan dengan elite seperti Hasto, begitu ketahuan, komisioner KPK ditangkap, tapi dianya sampai saat ini masih buron," kata Herzaky.

Herzaky juga menyindir Hasto yang menuduh Pemilu 2009 curang, sedangkan Mahfud sebagai Ketua MK saat itu, kini menjadi rekan koalisi sebagai Menko Polhukam di Kabinet Indonesia Maju Presiden RI Joko Widodo.

Menurutnya, PDI-P masih sakit hati karena kalah pada Pemilu 2009. Ia membandingkannya dengan sikap lapang dada Demokrat ketika gagal bicara banyak di Pemilu 2014 dan 2019.

"Kami ikhlas, menerimanya dengan lapang dada, mengevaluasi internal kami. Tidak menuduh-nuduh orang lain, seperti yang selalu Hasto lakukan," ujar Herzaky.

"Kalau omongan orang yang berkompeten menyampaikan Pemilu 2009 curang atau tidak, profesor pula, teman di kabinet pula, masih tidak mau didengarkan, apa lagi yang mau kita komentari?" katanya.

Catatan sejarah

Gugatan terkait sistem pileg pada rezim SBY itu didaftarkan sebagai perkara nomor 22/PUU-VI/2008 dan 24/PUU-VI/2008.

Pada perkara nomor 22, penggugat adalah calon legislatif dapil 1 Jawa Timur dari PDI-P, yakni M. Sholeh.

Sementara itu, pada perkara nomor 24, penggugat adalah 2 kader Demokrat yang menjadi caleg dapil VIII Jawa Timur yaitu Sutjipto dan Septi Notariana, serta Jose Dima Satria sebagai pemilih pada Pemilu 2009.

Baca juga: Soal Desakan Copot Kepala BRIN, PDI-P: Itu Akibat Proporsional Terbuka

Salah satu pasal yang jadi fokus gugatan adalah Pasal 214 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Keberadaan pasal ini dinilai tidak menjamin caleg dengan suara terbanyak di dapil itu berhak atas kursi di DPR RI. Saat itu, metode konversi suara menjadi kursi parlemen masih menggunakan metode Kuota Hare, dengan ciri khas bilangan pembagi pemilih (BPP).

Masalahnya, beleid itu mengatur, nomor urut caleg lebih utama dari suara caleg. Adapun caleg harus melampaui 30 persen BPP untuk dapat melenggang.

Ini artinya, terdapat standar ganda dalam sistem proporsional daftar calon terbuka yang diterapkan pada Pemilu 2024.

Di satu sisi, pemilih dapat mencoblos caleg pilihannya di surat suara. Namun, partai politik tetap berwenang menentukan siapa kadernya di DPR melalui nomor urut. Kewenangan besar partai politik ini merupakan sesuatu yang khas dalam sistem proporsional daftar calon tertutup.

"Upaya pemohon menjadi sia-sia apabila hanya mendapatkan suara 29 persen dari BPP. Sebab jika mengacu pada pasal a quo maka penentuan untuk dapat menjadi anggota legislatif akan dikembalikan pada nomor urut," kata Sholeh dalam permohonannya.

"Begitu juga, jika pemohon mendapatkan suara di atas 30 persen, tetap saja jika di nomor urut lebih kecil yang suaranya 30 persen. Penentuannya dikembalikan pada nomor urut kecil yang mendapatkan suara 30 persen," lanjutnya.

Sholeh cs keberatan karena dengan beleid ini, penentuan caleg bukan lagi murni pilihan rakyat, tetapi besar faktor kesukaan dari petinggi partai politik.

Gugatan ini berlangsung di tengah sikap yang berlainan antarpartai politik. Baru partai penguasa saat itu, Demokrat, yang secara resmi mendukung penuh gugatan agar caleg murni terpilih berdasarkan suara terbanyak. Begitu pun Hanura, Golkar, dan PAN.

Pandangan Demokrat juga tercermin dari pandangan SBY selaku presiden, yang disampaikan secara resmi selaku pihak terkait kepada MK.

"Siapapun yang ingin jadi anggota DPR atau DPD, berjuang untuk menyampaikan pandangan-pandangannya, konsep-konsepnya, komitmennya kepada rakyat. Dengan demikian rakyat yakin bahwa yang dipilih berjuang untuk kepentingan mereka dan bukan untuk kepentingan partai semata," kata SBY pada 14 Agustus 2008, dikutip laman setneg.go.id.

Baca juga: Gerindra Klaim DPR Solid Dukung Sistem Proporsional Terbuka

Dalam putusannya, MK yang saat itu diketuai Mohammad Mahfud MD memutus Pasal 214 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 inkonstitusional dan tak berlaku. Permohonan Soleh, Sutjipto, Septi, dan Jose dikabulkan.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menilai pasal itu inkonstitusional karena "bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat" dalam konstitusi.

"Jika ada dua orang calon yang mendapatkan suara yang jauh berbeda secara ekstrem terpaksa calon yang mendapat suara banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, karena yang mendapat suara kecil nomor urutnya lebih kecil," tulis Mahfud dkk dalam pertimbangan putusannya.

Mereka menyinggung, dalam pemilu presiden, kandidat yang menang adalah mereka yang meraup suara terbanyak, dan tak ada peran nomor urut di situ.

"Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara masing-masing caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut, berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya," lanjut mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Prajurit TNI AL Tembak Sipil di Makassar, KSAL: Proses Hukum Berjalan, Tak Ada yang Kebal Hukum

Nasional
Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Demokrat Tak Keberatan PKS Gabung Pemerintahan ke Depan, Serahkan Keputusan ke Prabowo

Nasional
Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Polri Tangkap 28.861 Tersangka Kasus Narkoba, 5.049 di Antaranya Direhabilitasi

Nasional
Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Soal Kekerasan di STIP, Menko Muhadjir: Itu Tanggung Jawab Institusi

Nasional
Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Pertamina Goes To Campus 2024 Dibuka, Lokasi Pertama di ITB

Nasional
Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Demokrat Sudah Beri Rekomendasi Khofifah-Emil Dardak Maju Pilkada Jawa Timur

Nasional
14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

14 Negara Disebut Akan Ambil Bagian dalam Super Garuda Shield 2024

Nasional
Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Khofifah Ingin Duet dengan Emil Dardak, Gerindra: Kami Akan Komunikasi dengan Partai KIM

Nasional
Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Wamenkeu Sebut Pemilu 2024 Berkontribusi Besar Dorong Pertumbuhan Ekonomi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com