Melihat gaya-gaya kepemimpinan anak-anak muda seperti Ganjar Pranowo, Gus Ipin, Ony Anwar Harsono, Adi Sutarwijono, atau Me Hoa, saya begitu yakin merekalah yang dimaksud Bung Karno sebagai kaum muda yang kreatif. Merekalah yang diharapkan Bung Karno bisa menyundul langit untuk terus memperjuangkan nasib wong cilik.
Jelang partai-partai “ber-cc” besar - untuk menyebut partai-partai yang memiliki raihan suara besar di Pemilu 2019 – mengumumkan calon presiden dan calon wakil presiden, perubahan konstelasi dukungan begitu menarik. Dari kondisi riil di lapangan, sebenarnya belum ada partai yang bisa menggamit capres atau cawapres.
Tiket “aman” untuk pencapresan hanya dimiliki PDI-P. Koalisi Perubahan yang dimotori Nasdem, “baru” sekedar mengumumkan capres “jomblo” tanpa pasangan, Anies Baswedan. Kondisi Koalisi Perubahan yang “jomblo” begitu rawan menimbulkan instabilitas mengingat ada dua partai lain anggota koalisi yang menuntut hak untuk mendudukan kadernya di posisi nomor dua.
Sementara Nasdem yang tidak ingin disetir anggota koalisi, mencari selamat dengan memberi tugas capres Anies Baswedan untuk mencari “pengantinnya” sendiri. Logika yang terbangun secara sederhana, tentu Anies tidak bisa serta merta mencari cawapresnya sendiri tanpa mendapat restu dari desainer Koalisi Perubahan, Surya Paloh.
Nasib Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang berintikan Gerindra – PKB serta Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang beranggotakan Golkar, PPP, dan PAN juga “jalan di tempat". Jika KKIR sudah mantap dengan capres Prabowo Subianto, tetapi belum final untuk cawapresnya. KIB malah belum memiliki capres dan cawapres yang diusungnya. Golkar secara spesifik menjagokan Airlangga Hartarto, sementara PPP dan PAN malah sibuk menyediakan “tempat” untuk kader-kader luar seperti Erick Thohir.
Baca juga: 5 Alasan Relawan Ganjar Pranowo GP Mania Membubarkan Diri
Sementara PDI-P yang bisa mencalonkan pasangan capres-cawapres sendiri, begitu “lamban” dan terkesan mempermainkan “bola” politik sehingga membuat koalisi-koalisi lain saling menunggu. Semua partai sekarang ini sebetulnya menunggu kepastian PDI-P untuk mencalonkan Puan Maharani ataukah Ganjar Pranowo.
Ketika Megawati Soekarnoputeri sudah menemukan “kata batinnya” maka akan keluar nama capres dan cawapres yang ditunggu publik. Bisa jadi, nasib koalisi-koalisi kembali cair mengingat PDI-P berpotensi merangkul partai-partai lain menjadi teman koalisi.
Potensi terjadinya rivalitas tiga pasang capres-cawapres di Pilpres 2024 sangat memungkinkan dan besar kemungkinan pula Pilpres 2024 berlangsung hingga dua putaran.
Kompleksitas dan kerumitan menentukan capres-cawapres, baik dari aspek eksternal dan internal partai, bisa jadi tidak dimengerti dan dipahami oleh para relawan. Relawan selalu menginginkan partai cepat mendeklarasikan pasangan agar cepat melakukan sosialiasi dan konsolidasi di lapangan.
Sementara partai harus menyiapkan banyak hal, tidak hanya sekedar sosialisasi dan konsolidasi belaka. Basis perkumpulan relawan bersifat cair, tidak berstruktur dan elitis mengingat kendali relawan ada di jajaran pimpinan.
Keanggotaan relawan bersifat sukarela. Hari ini daftar anggota relawan, besok bisa keluar dari perkumpulan relawan. Berbeda dengan partai, tingkat hierarkis organisasinya tersusun mekanistis, dari pimpinan pusat hingga ke anak ranting. Kendali organisasinya terkomando dan tersusun rapi.
Keanggotaan partai melekat dan terikat dengan aturan. Tidak bisa anggota partai sembarangan bersuara dan bertindak. Ketika partai mencalonkan “Si Midun” maka seluruh slagorde partai harus kompak mendukung “Si Midun” tanpa terkecuali.
Langkah GP Mania yang membatalkan dukungannya untuk pencapresan Ganjar Pranowo di Pilpres 2024 di Jakarta (9/2/2023) adalah wajah “keseharian” dalam peta politik kita. Saya jadi teringat praktik-praktik “dukung-mendukung” di era Soeharto, begitu komponen pendukung mudah diciptakan dan mudah pula dibubarkan.
Di era Jokowi, keberadaan relawan begitu mendapat “panggung” bahkan Jokowi memberikan begitu banyak previlese politik maupun ekonomi. Era kebulatan tekad di masa Orde Baru berkuasa memang diciptakan mesin politik yang bernama Golkar untuk mentriger dukungan di akar rumput. Walau bersifat semu, nyatanya Golkar ketika itu begitu membiakkan dukungan dari semua komponen masyarakat untuk menyuarakan narasi tunggal bahwa Soeharto adalah pemimpin yang tidak tergantikan.
Baca juga: Relawan Ganjar GP Mania Bubar, FX Rudy Pasang Badan: Seribu Persen Saya Benarkan Ganjar
Relawan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti sebagai orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela. Dengan demikian, relawan itu melakukan sesuatu hal tanpa ada kewajiban atau dipaksakan. Dunia kerelawanan merupakan aktivitas individu atau kelompok yang memberikan pelayanan tanpa mengambil manfaat finansial.