Saking berjarak, partai atau kandidat dalam pemilu berupaya “mendekatkan diri”, selain secara resmi melalui kampanye, juga melalui politik uang.
Ketika masyarakat tidak butuh uang, penulis sastra peraih Nobel Sastra (956), Albert Camus, dengan pedih mencibir begini: "Salah satu jenis keangkuhan spiritual adalah saat orang berpikir bahwa mereka bisa bahagia tanpa uang."
Dari itu, teramat jarang ada masyarakat menerima hasil politik uang, yang berupa uang pula, lantas ujug-ujug mereka datang ke instansi berwenang mengaku telah menerima politik uang – hal ini sangat tipis bisa terjadi. Nyaris, mustahil.
Lantaran sudah sedemikian lama parpol dikenal oleh sejumlah besar masyarakat dari kejauhan, karena sudah lama pula parpol tidak menjadikan rakyat sebagai tuannya –maka semboyan-semboyan ataupun jargon-jargon betapa parpol mengabdi untuk rakyat, pada kelazimannya bergema jelang pemilu, 5 tahun sekali.
Ironisnya, rakyat tahu pula bahwa ada kalanya semboyan dan jargon-jargon itu omong kosong.
Maka ketika pemilihan terjadi, kebanyakan rakyat memilih kandidat atau parpol selazimnya memilih barang atas dasar suka. Sedikit sekali atas dasar ideologi, visi, misi, dan tambah sedikit lagi pilihan jatuh atas dasar program kerja partai maupun kandidat.
Dalam realitasnya pula apa yang bernama aktivitas politik, pun membutuhkan uang. Proses ini cukup signifikan memengaruhi hasil kampanye pemilu guna menyampaikan visi misi partai, serta program kerja kandidat untuk memengaruhi konstituen.
Namun pada pengertian berikutnya praktik politik uang sama halnya dengan jual beli suara. Praktik ini jelas bisa merusak demokrasi.
Namun, lebih dalam kita pahami, terjadinya praktik politik uang juga karena kandidat berhasrat “membeli” suara.
Dalam hukum timbal-balik: “siapa yang membeli dia yang punya uang, siapa yang menjual dia yang butuh uang”, lantas dari sini kita bertanya, siapkah dia yang membeli suara? Jawaban ini tidak tunggal dan tidak pula bersifat faktual.
Dengan demikian, harus ditelusuri pula bahwa mereka yang masuk ke partai politik bermodalkan uang, acapkali menjadi kandidat.
Atau, menempati posisi strategis di jajaran elite partai, inilah pula yang memperjelas bahwa partai telah lama kehilangan sistem kaderisasi yang mapan.
Pada ujung yang ekstrem malahan terkesan, partai juga “membeli” suara dengan cara merekrut tokoh-tokoh banyak uang dan populer, untuk dijadikan kandidat.
Kader yang merintis karier dari bawah, dan tidak punya uang, harus berbesar hati masuk kotak.
Bersamaan dengan itu maka praktik politik uang, atau jual beli suara, pada dasarnya menafikan realitas demokrasi yang membuat mendegradasi pemilu dan demokrasi itu –bukan semata penyebabnya masyarakat.