Ketika politik juga membutuhkan uang, ini bisa dibilang keniscayaan. Bahkan bisa lebih dalam lagi esensinya sebagaimana dikatakan Voltaire (1694-1778). Penulis Perancis yang juga filsuf ini, bilang: “Apa bila kita bicara soal uang, maka semua orang sama agamanya."
Uang, nyaris begitu sempurna keberadaannya dibutuhkan. Dalam dunia politik, ia hadir sudah sedemikian lama berperan, sejak abad ke-5 sebelum Masehi (SM).
Era ini seiring warga Yunani kuno di Athena sudah mengenal pemilihan umum (pemilu) dengan sistem demokrasi. Untuk membiaya pesta demokrasi mereka memakai uang.
Dalam pesta demokrasi itu memilih staf militer, pejabat keuangan, pejabat publik, kehakiman, hingga anggota Dewan, lantas para warga Athena mengadakan pemilu.
Para kandidat dalam proses meraih suara terbanyak, mereka membutuhkan biaya –yang masa kini di Indonesia disebut poltik uang. Berbarengan pula pada era ini, tahun 560-546 sebelum Masehi, bangsa Yunani menciptakan uang logam pertama di dunia.
Uang telah mempunyai nilai kodratiknya sebagai suatu benda yang diterima secara umum oleh masyarakat untuk mengukur nilai, menukar, dan melakukan pembayaran atas pembelian barang dan jasa, maka tidak bisa dinafikan begitu saja. Termasuk, ketika ia bernama politik uang.
Namun ada yang dilematis di sini, karena politik uang juga merupakan salah satu tindakan yang dapat menciptakan adanya korupsi politik.
Berpijak dari sini, bisa dimengerti ketika Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) berpekik meminta masyarakat untuk melapor jika menemukan praktik politik uang.
Kemudian Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengajak semua pihak untuk ikut mengikis praktik politik uang. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga menghimbau para peserta pemilu tidak melakukan praktik politik uang.
Faktor kedekatan
Tidak ada yang salah dari himbauan Bawaslu, ajakan dari Kemendagri, maupun anjuran dari KPU agar masyarakat ataupun semua pihak memerangi atau mencegah politik uang.
Hanya satu hal yang terasa tidak bijaksana, yakni tidak meninjau sejauh mana kedekatan masyarakat terhadap partai politik ketimbang kedekatanya pada uang.
Mari lebih awal kita menelisik bahwa kedekatan masyarakat terhadap partai politik (parpol) masih rentan.
Menurut hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada November 2022, hanya 20 persen responden yang merasa dekat dengan parpol. Sedangkan, 73 persen lainnya mengaku sebaliknya.
Realitas itu menjadi semiotika betapa parpol sebagai peralatan demokrasi untuk memilih pemimpin, demikian berjarak cukup jauh dengan masyarakat.
Saking berjarak, partai atau kandidat dalam pemilu berupaya “mendekatkan diri”, selain secara resmi melalui kampanye, juga melalui politik uang.
Ketika masyarakat tidak butuh uang, penulis sastra peraih Nobel Sastra (956), Albert Camus, dengan pedih mencibir begini: "Salah satu jenis keangkuhan spiritual adalah saat orang berpikir bahwa mereka bisa bahagia tanpa uang."
Dari itu, teramat jarang ada masyarakat menerima hasil politik uang, yang berupa uang pula, lantas ujug-ujug mereka datang ke instansi berwenang mengaku telah menerima politik uang – hal ini sangat tipis bisa terjadi. Nyaris, mustahil.
Lantaran sudah sedemikian lama parpol dikenal oleh sejumlah besar masyarakat dari kejauhan, karena sudah lama pula parpol tidak menjadikan rakyat sebagai tuannya –maka semboyan-semboyan ataupun jargon-jargon betapa parpol mengabdi untuk rakyat, pada kelazimannya bergema jelang pemilu, 5 tahun sekali.
Ironisnya, rakyat tahu pula bahwa ada kalanya semboyan dan jargon-jargon itu omong kosong.
Maka ketika pemilihan terjadi, kebanyakan rakyat memilih kandidat atau parpol selazimnya memilih barang atas dasar suka. Sedikit sekali atas dasar ideologi, visi, misi, dan tambah sedikit lagi pilihan jatuh atas dasar program kerja partai maupun kandidat.
Jual beli suara
Dalam realitasnya pula apa yang bernama aktivitas politik, pun membutuhkan uang. Proses ini cukup signifikan memengaruhi hasil kampanye pemilu guna menyampaikan visi misi partai, serta program kerja kandidat untuk memengaruhi konstituen.
Namun pada pengertian berikutnya praktik politik uang sama halnya dengan jual beli suara. Praktik ini jelas bisa merusak demokrasi.
Namun, lebih dalam kita pahami, terjadinya praktik politik uang juga karena kandidat berhasrat “membeli” suara.
Dalam hukum timbal-balik: “siapa yang membeli dia yang punya uang, siapa yang menjual dia yang butuh uang”, lantas dari sini kita bertanya, siapkah dia yang membeli suara? Jawaban ini tidak tunggal dan tidak pula bersifat faktual.
Dengan demikian, harus ditelusuri pula bahwa mereka yang masuk ke partai politik bermodalkan uang, acapkali menjadi kandidat.
Atau, menempati posisi strategis di jajaran elite partai, inilah pula yang memperjelas bahwa partai telah lama kehilangan sistem kaderisasi yang mapan.
Pada ujung yang ekstrem malahan terkesan, partai juga “membeli” suara dengan cara merekrut tokoh-tokoh banyak uang dan populer, untuk dijadikan kandidat.
Kader yang merintis karier dari bawah, dan tidak punya uang, harus berbesar hati masuk kotak.
Bersamaan dengan itu maka praktik politik uang, atau jual beli suara, pada dasarnya menafikan realitas demokrasi yang membuat mendegradasi pemilu dan demokrasi itu –bukan semata penyebabnya masyarakat.
Selama ini masyarakat diberi stigma sebagai pihak yang “menjual” suara, padahal ada pula pihak yang punya syahwat kekuasaan bernafsu “membeli” suara.
Partikularisme Politik
Mungkin sebab itu partukalisme berbiak dalam politik kontemporer Indonesia, maka apa yang bernama praktik politik uang tidak bisa dielakan (bakal) terjadi.
Bahwa politik menjadi dunia yang bersih dari jual beli suara, dengan adanya kekuatan kesadaran ideologis, hanya bisa ditemui dalam awal kebangkitan Indonesia pada tahun 1900-an.
Era 1900-an adalah sebuah keadaan Indonesia yang masih krisis ekosistem ketatanegaraan, karena sistem politik masih didominasi oleh hegemoni kekuasaan pemerintahan penjajah kolonial Belanda.
Maka ada perlawanan dan sekaligus mengiringi terjadinya perubahan corak masyarakat tradisional menjadi corak masyarakat modern.
Berdirinya partai politik bernama Indische Partij, pada 25 Desember 1912, yang didirikan oleh tiga serangkai Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan dr. Cipto Mangunkusumo –menandai perlawanan dan pengiringan tersebut.
Dari itu Indische Partij menjadi partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia dalam situasi demikian.
Jadi di sana partikularisme sebagai sistem berpolitik tidak laku. Dan sangat ironis sistem yang tidak laku dan tidak pula dihidupkan dalam kebudayaan perpolitikan Indonesia awal pra kemerdekaan, justru dua dasawarsa belakang ini hidup. Tragis.
Partikularisme itu dalam dunia politik kekinian bernama politik uang, menjadi sistem yang mengutamakan kepentingan pribadi di atas kepentingan ideologi politik –bahkan orientasi politik.
Dari partikularisme ini pula yang memunculkan oligarki politik, dinasti politik, dan konglomerasi politik.
Dalam bahasa yang gampang, pada sistem itu ada kader partai dari bawah yang baik, cerdas, integratif, dan berani –bakal melempem selama tidak punya uang. Contoh yang teramat pedih untuk konstelasi perpolitikan Indonesia dewasa ini.
https://nasional.kompas.com/read/2023/02/12/12092791/politik-uang-dan-permasalahannya
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & Ketentuan