Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kedaluwarsa Kasus Pidana Hukuman Mati dan Seumur Hidup Setelah 18 Tahun Dinyatakan Konstitusional

Kompas.com - 31/01/2023, 16:15 WIB
Ardito Ramadhan,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahakamah Konstitusi (MK) menyatakan, ketentuan kedaluwarsa menuntut pidana mati/seumur hidup setelah 18 tahun tetap relevan dan konstitusional.

MK menolak uji materi Pasal 78 Ayat (1) Angka (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur ketentuan tersebut.

"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan, Selasa (31/1/2023).

Gugatan nomor 86/PUU-XX/2022 ini diajukan seorang warga bernama Robiyanto. Ia adalah anak dari Taslim alias Cikok yang merupakan korban pembunuhan sadis di Kepulauan Riau pada 2002 lalu.

Baca juga: Mempersoalkan Living Law dalam KUHP yang Baru

Dalam kasus pembunuhan Cikok, polisi saat itu telah menetapkan 7 orang tersangka, tetapi hanya 2 orang yang diadili hingga berkekuatan hukum tetap, sedangkan 5 lainnya berstatus buron.

Dalam proses persidangan, majelis hakim pun menetapkan dua orang lain menjadi tersangka, tetapi polisi kemudian menghentikan proses penyidikan kasus ini karena dianggap sudah kedaluwarsa.

Menurut Robiyanto, adanya masa kedaluwarsa itu merugikan dirinya karena tidak mendapatkan keadilan atas kematian orangtuannya.

Dalam gugatannya, Robiyanto menilai, masa kedaluwarsa dalam kasus dengan ancaman pidana mati/seumur hidup semestinya dilipatgandakan menjadi 36 tahun.

Angka tersebut dianggapnya sepadan dengan masa kedaluwarsa dalam kasus dengan ancaman pidana 3 tahun maupun 3 tahun lebih yang dua kali lipatnya, yakni 6 tahun dan 12 tahun.

Baca juga: Pidana Mati dengan Masa Percobaan di KUHP Baru Disebut Jadi Jalan Tengah

Akan tetapi, MK menolak permohonan Robiyanto karena dinilai bakal menimbulkan persoalan terkait validitas alat-alat bukti dalam mengungkap adanya tindak pidana.

Hakim MK Suhartoyo mengatakan, lamanya kurun waktu kedaluwarsa dapat menyulitkan aparat penegak hukum untuk mempulkan bukti yang valid, baik itu keterangan saksi dan tersangka/terdakwa serta barang bukti.

Sebab, dalam kurun waktu tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya penggantian aparat penegak hukum yakni penyelidik dan penyidik.

"Hal ini berdampak adanya kajian dan penilaian atas hasil penyelidikan dan penyidikan suatu perkara harus dimulai dari awal oleh penyidik baru dengan mendasarkan alat bukti yang dimungkinkan sudah tidak valid lagi," ujar Suhartoyo.

Baca juga: Masyarakat Disebut Bisa Tempuh Uji Legislatif KUHP ke DPR jika Pesimistis Uji Materi ke MK

Ia mencontohkan, bisa saja ada barang bukti yang rusak serta saksi atau tersangka/terdakwa telah lupa mengingat periwtiwa yang mereka lihat, alami, dan rasakan akibat faktor usia, kesehatan, bahkan sudah meninggal dunia.

Suhartoyo mengatakan, kondisi teresebut justru dapat menghasilkan fakta-fakta hukum yang tidak sesuai dengan peristiwa pidana yang sebenarnya sehingga akan menghasilkan putusan hakim yang tidak objektif dan tidak mencerminkan kepastian hukum.

Halaman:


Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com