RANCANGAN Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi KUHP. Sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) pada 6 Desember 2022 mengesahkan kanon pidana baru ini sebagai acuan penegakan hukum pidana nasional.
Ada banyak perdebatan yang mengiringi lahirnya kitab tersebut. Hal itu dapat dimaklumi karena KUHP menjadi induk peraturan pidana yang digadang-gandang sebagai karya asli setelah sekian lama bangsa ini menggunakan KUHP produk kolonial yang dalam bahasa Belanda dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht (WVS).
Salah satu perdebatan yang menyita perhatian banyak kalangan adalah dimasukkannya hukum yang hidup di dalam masyarakat ke dalam formula KUHP baru.
Baca juga: Pasal Living Law Dalam RKUHP Dinilai Berpotensi Munculkan Perda Diskriminatif
Pada Pasal 2 ayat 1 KUHP yang baru itu disebutkan: “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.”
Kemudian dilanjutkan pada ayat 2: “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.”
Dimasukkannya eksistensi hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law) ke dalam sistem hukum nasional melahirkan sorotan tajam dari beberapa kalangan. The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) termasuk pihak yang memberikan atensi khusus. Pengenaan pidana beralaskan living law berpotensi melahirkan ketidakjelasan bahkan kesewenang-wenangan dalam penegakan hukum.
Di samping itu, pasal tersebut juga menyalahi asas legalitas yang mengedepankan kepastian. Asas legalitas hanya mengakui hukum yang tertulis. Sementara hukum yang hidup karena tidak tertulis mengandung ketidakpastian yang bersinggungan dengan prinsip legalitas.
Secara historis, konsep living law muncul di era di mana paradigma hukum positif berkembang cepat. Living law adalah respon terhadap positivisme hukum yang mereduksi hukum sekadar kepada hukum yang tertulis yang disusun oleh negara dan menomorduakan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat (Wignjosoebroto, 2013).
Eugen Ehrlich (1862-1922) adalah figur yang perlu mendapatkan takrim sebagai penganjur konsep living law. Hukum yang hidup di dalam masyarakat bersumber dari realitas kehidupan masyarakat sehari-hari. Living law dapat berbentuk adat istiadat, kebiasaan, cara hidup serta pelbagai asosiasi sosial yang berkembang pada masyarakat tertentu (Ehrlich, 2001).
Menurut dia, living law berbeda dengan hukum yang diterapkan di dalam lingkungan peradilan karena operasionalisasinya berada sepenuhnya dalam kehendak masyarakat. Living law memiliki posisi penting karena mendominasi kehidupan masyarakat meskipun belum dipositivisasi sebagai proposisi hukum (legal propositions).
Living law tetap hidup karena eksistensinya fungsional bagi setiap orang. Menyitat bahasa Karl Von Savigny (1779-1861), eksistensi dan keberangsungan hukum yang hidup berada jiwa masyarakat (volkgeist). Dengan kata lain, keberlangsungan dan penerapan hukum yang hidup berada di luar domain otoritas negara.
Namun, ada beberapa hal yang perlu disoroti ketika living law dituangkan ke dalam orde pemidanaan di KUHP yang baru.
Pertama, secara paradigmatik, ada inkonsistensi dari para pembuat hukum ketika merumuskan KHUP. Berdasarkan asas kepastian hukum yang diatur di dalam Pasal 28D Undang-undang Dasar 1945, Indonesia menerapkan prinsip civil law. Hanya hukum yang tertulis yang ditetapkan melalui prosedur legislasi nasional yang dapat dianggap sebagai hukum.
Karena itulah, bahkan seorang hakim sekalipun tidak bisa membuat hukum (judge do not make law), selain yang ditetapkan di dalam postulat hukum positif.
Hal ini tentu berbeda dengan prinsip kerja hukum yang hidup. Karena tidak tertulis, maka yang berperan menentukan adalah kejujuran untuk berbicara berdasarkan nurani rakyat yang menganggap dan meyakini mekanisme kontrol sosial tertentu merupakan hukum yang berlaku.
Model hukum sejenis ini hanya mungkin diterapkan di dalam negara yang menganut prinsip common law, di mana seorang hakim memiliki kelenturan untuk membuat hukum berdasarkan penelusurannya terhadap hukum yang diakui oleh setiap anggota masyarakat.
Kedua, muncul persoalan konseptual ketika living law diintegrasikan ke dalam sistem pidana nasional. KUHP menjelaskan bahwa tindakan pidana meliputi dua hal sekaligus, yaitu kejahatan dan pelanggaran.
Baca juga: Penerapan Hukum yang Hidup pada RKUHP Dinilai Dapat Memunculkan Tindakan Kriminalisasi
Konsekuensinya, setiap pelanggaran terhadap kebiasaan, cara hidup dan segenap norma informal lain dapat disebut sebagai tindakan pidana. Jika demikian, maka makan dengan menggunakan tangan kiri adalah tindakan pidana. Sebab menggunakan tangan kanan saat makan adalah pedoman berperilaku normatif (usage) yang hidup di sebagian kalangan.
Ketiga, pemanfaatan living law dalam struktur hukum nasional sudah terakomodasi secara proporsional pada Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Ayat tersebut menyatakan bahwa seorang hakim dan hakim konstitusi wajib menggali serta mengikuti nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat.
Secara praksis, beberapa hakim dimungkinkan memanfaatkan living law sebagai pedoman membuat keputusan hukum.
Dalam pengalaman penegakan hukum selama ini, pemanfaatan living law bersifat negatif ketimbang positif. Artinya, hakim bisa mengabaikan ketentuan hukum positif (negative action) jika diyakini bahwa keputusan yang lahir berpotensi menyinggung rasa keadilan dalam masyarakat.
Persoalannya, memberi peluang penegak hukum untuk menegakkan pidana terhadap tindakan yang patut dipidana menurut living law adalah tindakan positif (positive action). Hakim bisa membuat hukum baru yang tidak ditentukan di dalam kanon pidana tertulis senyampang diyakini patut dianggap pidana oleh hukum yang hidup.
Model penegakan hukum semacam ini jelas ahistoris.
Tentu masih ada jalan untuk terus menyuarakan pembatalan beberapa pasal bermasalah seperti living law dalam KUHP yang baru. Uji materi (judicial review) adalah langkah selanjutnya yang harus diupayakan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.