Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aloysius Eka Kurnia
Dosen

Dosen Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta

Keadilan Historis Dalam Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat

Kompas.com - 27/01/2023, 05:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ucap Presiden Jokowi, Rabu (11/01/2022).

Pidato Jokowi tersebut boleh diakui sebagai langkah progresif yang diambil oleh seorang Presiden sepanjang sejarah perjalanan Indonesia.

Betapa tidak, selama lebih dari setengah abad berjalan dalam bayang-bayang pelanggaran HAM, akhirnya Presiden RI secara perdana memberikan pernyataan yang mengakui terjadinya peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.

Selain mengakui dan memberikan simpati terhadap keluarga korban atas terjadinya peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu, Presiden Jokowi dalam pidatonya juga menekankan tiga hal yang akan dilakukan pemerintah.

Pemulihan hak korban tanpa menegasikan penyelesaian yudisial, upaya terarah agar pelanggaran serupa tidak terjadi lagi pada masa depan, serta penugasan Menko Polhukam untuk mengawal kedua arahan tersebut menjadi poin utama dalam pidato yang turut dihadiri oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.

Bukan hanya sekadar konflik korban dan pelaku

Pelanggaran HAM berat terutama yang terjadi masa lalu memiliki dimensi sangat luas dan berpengaruh terhadap perjalanan bangsa.

Adalah kesalahan apabila kita menggambarkan pelanggaran HAM berat dengan sudut pandang sempit dan terbatas dalam bingkai konflik pelaku dan korban saja.

Pembiaran tanpa adanya upaya penuntasan terhadap terjadinya pelanggaran HAM berat yang menempatkan Penguasa Negara sebagai pelaku bukan tidak mungkin akan kembali terulang terhadap kelompok masyarakat lain di negara yang sama.

Indonesia tidak dapat menutup mata bahwa rentetan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan resultante dari tindak pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelumnya tanpa adanya upaya penyelesaian menyeluruh.

Oleh karena itu, sesungguhnya korban dari pelanggaran HAM berat juga meliputi seluruh anak bangsa, bahkan seluruh umat manusia yang dipaksa untuk menjalani hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan bahwa sewaktu-waktu tindakan agresif penguasa dapat menimpa dirinya.

Mencermati dimensi yang luas dari pelanggaran HAM berat masa lalu yang ikut memperluas perspektif tentang korban pada akhirnya akan membawa diskusi ini pada keberadaan konsep Keadilan Transisional yang pernah diteliti oleh Ruti G. Teitel, guru besar dari New York University.

Menurut dia, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu yang menyeluruh dapat terjadi bukan hanya dengan memenuhi keadilan hukum bagi korban melalui penuntutan terhadap pelaku secara yudisial.

Lebih jauh dari itu, keadilan reparatoris, keadilan administratif, keadilan konstitusional, hingga keadilan historis perlu untuk dipenuhi dalam bentuk upaya non-yudisial.

Keadilan historis untuk seluruh anak bangsa

Keadilan historis merupakan salah satu komponen yang tidak kalah penting untuk diwujudkan dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu.

Pentingnya pemenuhan keadilan historis akan memperluas pemahaman bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu pada kenyataannya juga ikut mendudukan kita sebagai korban dalam peristiwa yang mungkin sudah terjadi puluhan tahun lalu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Gerindra Sebut Jokowi Justru Dorong Prabowo untuk Bertemu Megawati

Nasional
Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com