JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat tiga provinsi yang melaporkan dispensasi kawin (diska) paling banyak sepanjang 2022.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan dan Lingkungan KemenPPPA, Rohika Kurniadi Sari mengatakan, tiga provinsi tersebut, yakni Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan.
"Daerah terbesar dalam dispensasi kawin memang yang masih mempunyai posisi tinggi, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan," kata Rohika saat ditemui di Kantor KemenPPPA, Jakarta Pusat, Jumat (20/1/2023).
Baca juga: PA Kabupaten Bandung Tangani 202 Dispensasi Nikah Sepanjang 2022, 85 Persen Dikabulkan
Kendati begitu, wanita yang karib disapa Ika ini tidak merinci secara detil jumlah kasusnya.
Hanya saja, kasus dispensasi menikah hingga tahun 2022 masih tinggi, meski diklaim terjadi penurunan sejak UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berlaku.
Dalam beleid itu, perkawinan hanya diizinkan jika pria dan wanita sudah mencapai usia 19 tahun. Usia perkawinan pada wanita ini lebih tinggi dibandingkan UU sebelumnya, yang dipatok berusia 16 tahun.
"Kalau trennya dari angka sejak digulirkannya UU 16/2019, pada saat itu 2020 kita masuk pandemi Covid-19, tren dari data justru menurun, walau angkanya sebenarnya masih cukup tinggi," beber Ika.
Baca juga: Ketua DPRD Indramayu Sebut Tingginya Dispensasi Nikah Anak Tamparan Keras dan Petaka
Sementara itu mengacu pada data KemenPPPA, perkawinan anak berdampak pada masalah di sisi kesehatan. Sebanyak 53 persen perkawinan di bawah usia 18 tahun menderita mental disorder depresi.
Anak yang dikandungnya pun berisiko mengalami stunting, dengan persentase mencapai 30-40 persen selama 2 tahun. Baik ibu maupun ayah yang belum beranjak dewasa juga harus gagal menyelesaikan sekolahnya.
Selain itu, ada risiko KDRT, peningkatan perceraian, dan belum memiliki kematangan psikologis.
"Ini jadi PR kita bersama, sedih kita mendengar bahwa situasi ini memperburuk program pemerintah," tutur Ika.
Sebelumnya, Menteri PPPA Bintang Puspayoga menegaskan, perkawinan anak memiliki dampak negatif yang sangat banyak.
Baca juga: 856 Dispensasi Nikah Anak di Lumajang pada 2022, Turun tetapi Masih 5 Besar di Jatim
Di satu sisi, perkawinan anak merusak masa depan anak itu sendiri dan akan menggerus cita-cita bangsa untuk menciptakan sumber daya manusia unggul dan memiliki daya saing.
Dari sisi ekonomi, anak yang menikah pada usia dini terpaksa harus bekerja. Mereka pun mendapatkan pekerjaan kasar dengan upah rendah karena minim pengetahuan dan pengalaman.
Hal ini membuat tingkat kemiskinan ekstrim akan berlanjut. Belum lagi, ketidaksiapan fisik dan mental merentankan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
“Perkawinan memicu tingginya angka putus sekolah dan dari sisi kesehatan rentan terjadinya kematian ibu melahirkan, anemia, ketidaksiapan mental dan juga terjadinya malnutrisi,” kata Bintang, Jumat (13/1/2023).
“Karena itu, perkawinan anak tidak boleh terjadi lagi. Selain melanggar hak anak, juga melanggar hak asasi manusia," ucap Bintang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.