"Menurut saya alasannya adalah kutukan anak presiden. Karena kan Mbak Puan sendiri sudah terlahir dengan privilese sehingga apa yang dilakukan, dianggap, dipersepsi oleh orang bukan prestasi atau bukan kerja keras," kata Kunto kepada Kompas.com, Senin (16/1/2023).
"(Sebagian menganggap) ya biasa-biasa saja dong, orang anak presiden kok, atau anak ketua partai politik terbesar di Indonesia kok," tuturnya.
Tak hanya Puan, menurut Kunto, pola yang sama juga terjadi pada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Manuver Ketua Umum Partai Demokrat itu kerap mendulang respons negatif publik karena sebagian pihak menilai pencapaian AHY tak lepas dari peran besar sang ayah.
"Karena privilese yang mereka punya itu dianggap bukan hasil kerja keras, terberikan, dan semua orang juga bisa melakukan itu asal anaknya presiden," ujar Kunto.
Dengan situasi demikian, kata Kunto, wajar jika Puan merasa apa pun yang dia lakukan selalu dianggap tidak benar di mata publik.
Sebagian orang akan selalu menilai tindakan Puan salah karena terlanjur menaruh rasa sinis ke mantan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) itu.
Kelompok-kelompok tersebut juga tak akan berupaya mencari pembelaan Puan karena mereka mengutamakan rasa sinisme.
"Publik tidak merasa perlu mencari tahu alasan-alasannya. Cukup dengan 'ya karena Puan begitu' atau 'karena anak presiden', maka ya ada (pandangan) sombong, atau otoriter, atau sekehendak hatinya sendiri, atau tidak punya empati. Gitu akhirnya yang muncul," kata Kunto.
Baca juga: Pasrahnya Puan soal Capres PDI-P Pilihan Megawati, Menyerah atau Strategi?
Untuk menyelesaikan ini, menurut Kunto, butuh kerja keras Puan untuk tidak hanya sekadar memperbaiki gestur komunikasinya.
Persoalan yang lebih penting ialah menjelaskan ke publik soal narasi seorang Puan Maharani. Puan harus bisa membuktikan bahwa pencapaiannya saat ini bukan semata karena dia putri Megawati.
Misalnya, bagaimana sulitnya Puan berjuang sebagai putri Megawati dan cucu Soekarno pada era Orde Baru pemerintahan Soeharto, atau hal-hal lain yang tak banyak diketahui masyarakat.
"Jadi, menurut saya, narasinya Mbak Puan yang harus diperbaiki, bukan masalah gestur, gaya komunikasi," kata Kunto.
"Kalau gestur, gaya komunikasi diperbaiki tanpa penjelasan tentang kenapa dia bisa begitu, sejarahnya gimana, menurut saya agak-agak susah hari ini buat Mbak Puan," tutur dosen Universitas Padjadjaran itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.