“Pak Jokowi itu ya ngono loh, mentang-mentang. Lah iya padahal Pak Jokowi kalau nggak ada PDI Perjuangan juga duh kasihan dah. Loh legal formal loh, beliau jadi presiden tuh nggak ada....kan ini...legal formal diikuti terus sama saya, aturannya, aturan mainnya.”
PERNYATAAN Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang diucapkan di acara peringatan Hari Ulang Tahun ke-50 PDIP di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Selasa (10/1/2023), tak pelak menimbulkan kontroversi di publik.
Ada kalangan yang menganggap pernyataan Presiden ke-V RI itu merendahkan Presiden Joko Widodo dan menjadi “tohokan” politik tertajam Megawati kepada kadernya yang menjabat presiden selama dua periode.
Sementara ada pihak lain yang menganggap, wejangan Megawati kepada Jokowi hanyalah pesan “sayang” dari seorang Ibu kepada anaknya. Tidak ada yang istimewa dari perkataan demi perkataan Megawati di HUT PDIP tersebut.
Jauh sebelum acara milad setengah abad PDIP itu, kalangan internal PDIP memang terbelah dalam dua arus besar.
Ada yang mendukung secara struktural kepada putri Megawati, yakni Puan Maharani sebagai calon presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Sementara ada yang menyokong secara “diam-diam” terhadap Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo.
Dalam berbagai kesempatan, Jokowi selalu mengendorse kalau Ganjar Pranowo adalah sosok pilihannya untuk menjadi capres. Beberapa elite PDIP secara terang-terangan menjagokan Puan sebagai capres.
Sementara Megawati maupun PDIP hingga hari ini tidak kunjung juga mendeklarasikan siapa sosok capres dan cawapresnya.
Semula forum HUT PDIP ke-50 ditengarai berbagai kalangan akan penuh kejutan, dengan pengumuman Megawati soal jagoan yang akan diusung PDIP di Pilpres 2024.
Apakah ada yang “salah” dan “aneh” dari pernyataan putri tertua Proklamator Bung Karno itu?
Memahami pesan narasi politik yang disampaikan “kampiun” politik seperti Megawati memang membutuhkan kejernihan, obyektifitas, dan pola pandang dari berbagai aspek.
Aspek historis Megawati dan PDIP sebagai representasi kekuatan oposisi kritis sejak cengkeraman kekuasaan represif Orde Baru, sangat sulit dikomparasi dengan seluruh ketua umum partai-partai politik yang masih eksis sampai sekarang.
Kesejarahan partai-partai selain PDIP pascatumbangnya Soeharto, tidak ada yang sekomplet dan selengkap PDIP.
Megawati terbukti dan berhasil membawai partainya “selamat” dalam turbulensi dan huru hara politik. Mulai dari periodesasi “dihabisi” dan “ditekan” penguasa Orde Baru; memilih golput di Pemilu 1997 sehingga secara legalitas menjadi Pemilu terburuk dalam sejarah Indonesia modern; memenangkan Pemilu 1999 tapi hanya didapuk menjadi Wakil Presiden; menggantikan Gus Dur sebagai RI-1 dalam waktu singkat (2001 – 2004); kalah dalam dua kali Pilpres (2004 dan 2009); mengantarkan dua kali kemenangan Jokowi dalam Pilpres (2014 dan 2019). Dan kini menanti perhelatan Pilpres 2024 di saat usianya semakin sepuh.
Aspek relasi sosial psikologis yang terbangun antara Megawati dengan Jokowi yang bermula dari pemilihan wali kota Solo, pemilihan gubernur (Pilgub) DKI hingga ajang dua kali Pilpres, menjadi bukti penguat adanya hubungan “Ibu” dan “Anak” di antara keduanya.
Bukan perkara mudah bagi Megawati ketika memberikan “tiket” pencalonan bagi Jokowi sejak dari Solo hingga Jakarta.
Solo yang menjadi bagian Provinsi Jawa Tengah, dipimpin Gubernur Bibit Waluyo. Pensiunan tentara berbintang tiga itu, semula diusung PDIP tetapi di perjalanannya membelot dari Banteng. Saya ikut menemani Megawati saat mengusung pertama kali Jokowi di Solo (2005).
Di saat partai-partai lain apalagi oposisi memerlukan “bensin” untuk logistik partai, Megawati tidak mengenal mahar atau biaya pencalonan.
Mendukung Jokowi dilakukannya karena keyakinan akan “pria kurus kering” – demikian Megawati kerap menyebut Jokowi sebagai rasa sayangnya karena Jokowi begitu peduli perhatiannya kepada rakyat kecil.
Pilihan Megawati memang tepat. Solo di tangan Jokowi menjadi berubah dan menjadi kota yang membanggakan.