JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Syariefuddin Hasan untuk menjalani pemeriksaan oleh tim penyidik.
Juru Bicara Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri mengatakan, Syarie Hasan diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi penyaluran dana oleh lembaga pengelola dana bergulir koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah (LPDB-KUMKM) di Provinsi Jawa Barat (Jabar).
Syarief Hasan dipanggil dalam kapasitasnya sebagai mantan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Indonesia periode Tahun 2009 sampai 2014.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi,” kata Ali dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (4/1/2022).
Baca juga: KPK Tahan 4 Tersangka Kasus Penyaluran Dana LPDB-KUMKM, Diduga Rugikan Negara Rp 116,8 Miliar
Namun, Ali belum membeberkan lebih lanjut mengenai materi pemeriksaan terhadap Syarief Hasan.
Ia hanya mengatakan, KPK juga memanggil seorang wiraswasta Endang Suhendar untuk menjalani pemeriksaan dalam kasus yang sama pada Rabu ini.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Mereka adalah Direktur LPDB-KUMKM 2010-2017 Kemas Danial dan Ketua Pengawas Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti Jawa Barat Dodi Kurniadi.
Kemudian, Sekretaris II Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti Jawa Barat Deden Wahyudi, dan Direktur PT Pancamulti Niagapratama Stevanus Kusnadi.
Keempat tersangka ditahan KPK sejak 15 September 2022.
Baca juga: KPK Usut Dugaan Korupsi Penyaluran Dana Bergulir Fiktif LPDB-KUMKM
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, kasus ini bermula saat Stevasnus menawarkan bangunan Mal Bandung Timur Plaza (BTP) kepada Kemas dengan tujuan mendapat pinjaman dana dari LPDB-KUMKM.
Saat itu, bangunan tersebut belum selesai dibangun.
Kemas menyambut tawaran itu dan merekomendasikan Stevanus menemui Ketua Pusat Koperasi Pedagang Kaki Lima Panca Bhakti Jawa Barat (Kopanti Jabar) Andra A Ludin.
Tujuanya agar teknis pengajuan pinjaman bergulir melalui Kopanti Jabar dikondisikan.
Andra kemudian meminta Dodi mengajukan permohonan pinjaman Rp 90 miliar ke LPDB guna membeli kios di Mal BTP dengan luas 6.000 meter persegi. Kios itu disebut akan diberikan kepada 1.000 pelaku UMKM.
Padahal, dalam data yang tersedia jumlah pelaku UMKM tidak mencapai 1.000 orang.
"Data pelaku UMKM yang dilampirkan tidak mencapai 1.000 orang dan diduga fiktif namun tetap dipaksakan agar dana bergulir tersebut bisa segera dicairkan melalui pembukaan rekening bank yang dikoordinir DW (Deden Wahyudi)," kata Ghufron.
Baca juga: Ditanya soal Pencapresan dan Koalisi Demokrat, Syarief Hasan: Tidak Lama Lagi
Kemas kemudian membuat surat perjanjian kerjasama dengan Kopanti Jabar tanpa mengikuti analisa bisnis dan manajemen risiko.
Pinjaman dana bergulir sebesar Rp 116,8 miliar pun telah disalurkan kepada 506 pelaku UMKM binaan Kopanti Jabar pada periode 2012-2013 dengan jangka waktu pengembalian 8 tahun.
Namun, uang tersebut seluruhnya diautodebet melalui rekening bank milik Kopanti Jabar yang selanjutnya dibayarkan ke rekening bank milik Stevanus sebesar Rp 98,7 miliar.
"Karena pengembalian pinjaman yang dapat dilakukan SK (Stevanus) hanya sebesar Rp 3,3 miliar dan masuk kategori macet sehingga KD (Kemas) mengeluarkan kebijakan untuk mengubah masa waktu pengembalian menjadi 15 tahun," ujar Ghufron.
KPK menduga Kemas menerima Rp 13,8 miliar dan fasilitas kios usaha ayam goreng di Mal BTP dari Stevanus.
Sementara Dodi dan Deden diduga mendapatkan fasilitas mobil dan rumah dari Kopanti Jabar.
"Akibat perbuatan para tersangka diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar sejumlah Rp 116,8 miliar," kata Ghufron.
Baca juga: Dalami Pengajuan hingga Pencairan Dana UMKM di Jabar, KPK Periksa Kadiv Bisnis LPDB-KUMKM
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.