"Karena ini lokasi (persidangan) dan tempat peristiwa jaraknya jauh (dari lokasi persidangan), jika hakim membutuhkan kesaksian hadir secara fisik, siapa yang bertanggung jawab sejak dari awal menghadirkan saksi itu di depan majelis hakim?" kata Amiruddin 18 Agustus 2022.
"Karena ada konsekuensinya dari jarak begitu jauh, yaitu biaya, siapa yang membiayai? tentu ini tantangan LPSK. Supaya korban yang akan bersaksi, atau saksi itu sendiri tidak terbebani secara psikologis untuk menghadiri panggilan psikologis," ujar dia.
Baca juga: Soroti Vonis Bebas Terdakwa Kasus Paniai, PBHI: Ini Peradilan Fiktif
Amiruddin juga secara terang-terangan menganggap upaya negara dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat Paniai kurang serius.
Dia menilai, keseriusan negara tidak terlihat lantaran pengadilan HAM di Indonesia yang digelar seperti merintangi para korban.
Ia juga khawatir bahwa tidak seriusnya persidangan Tragedi Paniai menunjukkan bahwa Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM ternyata tidak membawa dampak signifikan.
"Dulu, tahun 2000-an awal, ada 3 pengadilan HAM, yaitu Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura, yang dulu juga dinilai banyak pengamat pengadilan tidak serius. Lima belas tahun berhenti, ternyata tidak lebih baik jalannya," ungkap Amiruddin.
Puncak gimik penuntasan kasus pelanggaran HAM berat Paniai terlihat pada akhir tahun 2022, tepatnya saat pembacaan putusan sidang di Pengadilan Negeri Makassar 8 Desember 2022.
Tersangka Mayor Inf (Purn) Isak Sattu divonis bebas. Dia dinilai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat Paniai seperti yang didakwakan.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menegaskan, sejak awal persidangan, keseriusan untuk menuntaskan kasus tersebut tak terlihat.
Dia menyebut peradilan kasus pelanggaran HAM berat Paniai adalah peradilan fiktif yang sudah diketahui terdakwa akan divonis bebas.
Baca juga: Divonis Bebas, Terdakwa Kasus Pelanggaran HAM Paniai Ucapkan Terima Kasih Kepada Hakim
"Sejak awal saya sudah menduga bahwa putusan akan bebas, ini peradilan fiktif," imbuh dia, sehari setelah putusan dibacakan.
Kekecewaan juga diungkap Komnas HAM yang sudah berganti komisioner.
Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM yang baru, Abdul Haris Semendawai mengatakan, tidak seriusnya pemerintah mengatasi masalah HAM berat Paniai terlihat dari gaji hakim ad hoc yang menangani perkara ini belum dibayar.
"Kita mempertanyakan juga keseriusan dukungan pemerintah terhadap proses peradilan ini, antara lain bisa terlihat dari hakim ad hoc pengadilan HAM, hak-hak keuangannya belum dipenuhi," kata Semendawai.
"Setelah mereka bekerja sekian bulan, gajinya belum dapat," ujarnya.
Berkaca dari penanganan kasus pelanggaran HAM berat Paniai, akankah di masa depan para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia mendapat keadilan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.