Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[KALEIDOSKOP] "Gimik" Pemerintah Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat Paniai

Kompas.com - 26/12/2022, 07:55 WIB
Singgih Wiryono,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

"Karena ini lokasi (persidangan) dan tempat peristiwa jaraknya jauh (dari lokasi persidangan), jika hakim membutuhkan kesaksian hadir secara fisik, siapa yang bertanggung jawab sejak dari awal menghadirkan saksi itu di depan majelis hakim?" kata Amiruddin 18 Agustus 2022.

"Karena ada konsekuensinya dari jarak begitu jauh, yaitu biaya, siapa yang membiayai? tentu ini tantangan LPSK. Supaya korban yang akan bersaksi, atau saksi itu sendiri tidak terbebani secara psikologis untuk menghadiri panggilan psikologis," ujar dia.

Baca juga: Soroti Vonis Bebas Terdakwa Kasus Paniai, PBHI: Ini Peradilan Fiktif

Amiruddin juga secara terang-terangan menganggap upaya negara dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat Paniai kurang serius.

Dia menilai, keseriusan negara tidak terlihat lantaran pengadilan HAM di Indonesia yang digelar seperti merintangi para korban.

Ia juga khawatir bahwa tidak seriusnya persidangan Tragedi Paniai menunjukkan bahwa Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM ternyata tidak membawa dampak signifikan.

"Dulu, tahun 2000-an awal, ada 3 pengadilan HAM, yaitu Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura, yang dulu juga dinilai banyak pengamat pengadilan tidak serius. Lima belas tahun berhenti, ternyata tidak lebih baik jalannya," ungkap Amiruddin.

Vonis bebas dan disebut peradilan fiktif

Puncak gimik penuntasan kasus pelanggaran HAM berat Paniai terlihat pada akhir tahun 2022, tepatnya saat pembacaan putusan sidang di Pengadilan Negeri Makassar 8 Desember 2022.

Tersangka Mayor Inf (Purn) Isak Sattu divonis bebas. Dia dinilai tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran HAM berat Paniai seperti yang didakwakan.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menegaskan, sejak awal persidangan, keseriusan untuk menuntaskan kasus tersebut tak terlihat.

Dia menyebut peradilan kasus pelanggaran HAM berat Paniai adalah peradilan fiktif yang sudah diketahui terdakwa akan divonis bebas.

Baca juga: Divonis Bebas, Terdakwa Kasus Pelanggaran HAM Paniai Ucapkan Terima Kasih Kepada Hakim

"Sejak awal saya sudah menduga bahwa putusan akan bebas, ini peradilan fiktif," imbuh dia, sehari setelah putusan dibacakan.

Kekecewaan juga diungkap Komnas HAM yang sudah berganti komisioner.

Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM yang baru, Abdul Haris Semendawai mengatakan, tidak seriusnya pemerintah mengatasi masalah HAM berat Paniai terlihat dari gaji hakim ad hoc yang menangani perkara ini belum dibayar.

"Kita mempertanyakan juga keseriusan dukungan pemerintah terhadap proses peradilan ini, antara lain bisa terlihat dari hakim ad hoc pengadilan HAM, hak-hak keuangannya belum dipenuhi," kata Semendawai.

"Setelah mereka bekerja sekian bulan, gajinya belum dapat," ujarnya.

Berkaca dari penanganan kasus pelanggaran HAM berat Paniai, akankah di masa depan para korban pelanggaran HAM berat di Indonesia mendapat keadilan?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

ICW Dorong Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Kasus Nurul Ghufron, Sebut Putusan Sela PTUN Bermasalah

Nasional
Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya Sebagai Cagub DKI Jakarta

Anies Dinilai Sulit Cari Partai yang Mau Mengusungnya Sebagai Cagub DKI Jakarta

Nasional
PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

PAN Klaim Dapat Jatah 4 Menteri, Zulkifli hingga Viva Yoga Mauladi

Nasional
SYL Klaim Tak Pernah 'Cawe-cawe' soal Teknis Perjalanan Dinas

SYL Klaim Tak Pernah "Cawe-cawe" soal Teknis Perjalanan Dinas

Nasional
Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Ribut dengan Dewas KPK, Nurul Ghufron: Konflik Itu Bukan Saya yang Menghendaki

Nasional
Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Kemenag Kecewa 47,5 Persen Penerbangan Haji yang Gunakan Garuda Indonesia Alami Keterlambatan

Nasional
Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Klarifikasi Korps Marinir soal Kematian Lettu Eko, Akui Awalnya Tak Jujur demi Jaga Marwah

Nasional
Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Anies dan Sudirman Said Sama-sama Ingin Maju Pilkada DKI, Siapa yang Mengalah?

Nasional
Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

Bertolak ke Sumbar, Jokowi dan Iriana Akan Tinjau Lokasi Banjir Bandang

Nasional
Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

Dititip Kerja di Kementan dengan Gaji Rp 4,3 Juta, Nayunda Nabila Cuma Masuk 2 Kali

Nasional
Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Jabat Tangan Puan dan Jokowi di Tengah Isu Tak Solidnya Internal PDI-P

Nasional
Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis 'Mercy'

Saat Anak Buah Biayai Keperluan Pribadi SYL, Umrah hingga Servis "Mercy"

Nasional
26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

26 Tahun Reformasi: Robohnya Etika Bernegara

Nasional
Soal Perintah 'Tak Sejalan Silakan Mundur', SYL: Bukan soal Uang, tapi Program

Soal Perintah "Tak Sejalan Silakan Mundur", SYL: Bukan soal Uang, tapi Program

Nasional
Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Rosan Ikut di Pertemuan Prabowo-Elon Musk, Bahas Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com