Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Lima Seniman, Lima Ekspresi Mural Daulat Pangan

Kompas.com - 14/12/2022, 12:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Yang lain, dosen Institut Kesenian Jakarta dan seniman mural, Guntur Jongmerdeka memilih gaya pop-art, mengingatkan kita tentang seniman pop yang tenar di Amerika Serikat era 70-80-an, Roy Lichtenstein di muralnya yang menyerupai tindak agitatif pun posterik.

Imej-imej kereta api cepat sebagai simbol akselerasi pembangunan, warna-warna mencolok komikal pun teks-teks gamblang yang dipandu lambang timbangan “Rupiah Stabil, Pangan Indonesia Bangkit!

Guntur dengan piawai membuat sebuah narasi pelik nan panjang aspek ditribusi dalam “mata rantai tiga ayat suci Ketahanan Pangan”, yaitu Ketercukupan, Aksesibilitas dan Konsumsi, hanya dalam satu frame.

Gaya komikalnya ini memikat mata dan menggedor benak, tentang lebih pada prolematika distribusi dan kesenjangan dalam wilayah yang ke-2, yakni aksesbilitas dengan luput-terjaminnya tingkat kestabialan.

Untuk itu, tingkat inflasi dan nilai tukar rupiah sangat krusial, selain berbagai “Tangan Tak Nampak”, yaitu intervensi pihak-pihak yang berkuasa, regulator secara politik bisa menggoyang/meneguhkan stabilitas atau terjadi manipulasi sampai penimbunan bahan pokok sebagai upaya “sabotase politik” atau pemaksimalan laba yang berakibat fatal dari produsen-distributor.

Semuanya mengonstruksi neraca timpang dan di akhir hari: harga pangan tak terakses publik sebab terlalu mahal dan kelangkaan terjadi dimana-mana.

Di sanalah, kewaspadaan yang dipaparkan Guntur Jongmerdeka dengan muralnya mencapai target. Seni menjelaskan tak harus rumit memaparkan teori-teori ekonomi pangan makro.

Cukup dengan imej bibir dan speaker, kereta ekspres, gambar sembilan bahan pokok seperti beras, gula dll, di pasar tradisional, gudang beras besar, gerai-gerai/ toko-toko penyalur bahan pangan dan mini market dan terakhir menjadi simbol timbangan dan lambang Rupiah tepat direpresentasikan.

Sebagai seniman partisipan terakhir, terlahir di kabupaten Fak-Fak, Papua bernama Fausan Mussad bertutur di muralnya yang bisa kita tafsirkan setidaknya dalam dua hal: keberagaman pangan dari Indonesia Timur dan gaya hidup yang bisa menjadi tauladan dengan kultur lokalitas dan sumber-sumber daya berkelanjutan.

Desain karya mural Fauzan Musaad, dokumen Jakarta Art MovementJakarta Art Movement/ JAM Desain karya mural Fauzan Musaad, dokumen Jakarta Art Movement
Fausan sangat fasih menjelaskan bahwa gambaran tentang Pulau Papua yang kaya ikan tuna dan sagu; yang dikonsumsi di sebagian besar wilayah Papua bahkan sampai Maluku. Di pulau-pulau yang merujuk figur kepala burung Manokwari itu.

Fauzan melukiskan Rumah Semut, yang berfungsi pembuatan untuk obat dan diolah minuman seperti teh di daerah Pegunungan Tengah untuk ketahanan tubuh.

Raja Ampat, wilayah wisata yang sohor keseluruh dunia di Provinsi Papua Barat di perairan di daerah kepala burung Manokwari juga penghasil Tuna yang berkualitas.

Fauzan juga mengingatkan kita dengan lukisan dengan teks “Sagu Papua untuk Dunia” tak hanya slogan, sebab kearifan leluhur tanah Papua semestinya mampu memberikan kontribusi-solusi pada krisis pangan global.

Misalnya, lukisan profil dua orang Suku Bhuyakha atau disebut Orang Sentani seturut Fauzan, yang hidup dari mencari ikan dan memanfaatkan sagu.

Yang mana, warga dari tiga kampung di Sentani, yakni Yoboi, Simporo, dan Babronko, memotong sagu ada aturannya, tidak boleh asal menebang.

Dari hutan sagu ini, berbagai jenis makanan yang kaya dan berlimpahan, akan memenuhi kebutuhan pokok seperti pati sagu yang diolah menjadi papeda.

Selain papeda, batang sagu juga biasa dipakai sebagai medium menghasilkan ulat sagu (sabeta) dan jamur (fenlung)

Degan demikian, seni tak terpisahkan dengan kondisi kebangsaan dan mendesaknya fenomena penyadaran publik menyoal Daulat Pangan Lokal.

Kekayaan warisan tanah Nusantara menjadi bukti, bersama kita layak mengembalikan mural pada habitatnya; menjadi garda terdepan berteriak lantang tentang isu pangan lokal. Salam!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com