Selama dua bulan sejak akhir Oktober 2022, penulis membuka percakapan-percakapan mendalam dan mengobservasi bersama lima seniman mural; mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan sejumlah konsep desain mural dan lokasi.
Pada satu tahap melibatkan pengamat pangan, yang kemudian menjadi kurator, yakni Khudori dan seorang Profesor tentang ketahanan pangan di Badan Pangan Nasional, Prof. Risfaheri.
Tak lupa penulis sekaligus kurator diterima langsung Kepala Badan Pangan, Arief Prasetyo Adi bahwa Bapanas tak mungkin kerja sendiri, sebab realitas daulat pangan memunculkan keharusan kolaborasi dan Bapanas menjadi pemicu orkestrasi multisektor dan aktor dari seluruh lapisan warga, termasuk komunitas seniman.
Tentang kebebasan berekpresi dan misi menyuarakan pesan-pesan, bekerja bareng dengan komunitas-komunitas seni, termasuk pihak Dewan Kesenian Jakarta pun perbincangan mendalam bentuk-bentuk visual yang efektif dan bisa diterima oleh anak muda sangat diapresiasi Bapanas.
Bagaimanapun, jenis seni mural beraroma propaganda waktunya memberi pencerahan-pencerahan.
Bujangan Urban, seolah tak bosan, mengulik fundamen keamanan pangan dengan kutipan provokatif pidato Soekarno dengan pernyataannya,“Soal Persediaan Makanan Rakyat Ini Bagi Kita Adalah Hidoep Dan Mati”, yang teks itu semata-mata merupakan kebenaran sejarah, kondisi negeri dan kebenaran estetika.
Ingatan kita segera terbang bahwa hampir di seluruh pelosok jagad, sebuah rezim politik, termasuk Soekarno sendiri tumbang disebabkan tingkat inflasi dan harga bahan pokok yang tinggi dan rakyat semata yang terimbas paling menderita.
Pada seniman lain yang berpartisipasi, yang termuda, yakni Alfi seorang perempuan muda, sarjana arsitektur mengolah dengan cerdas gaya satirikal tentang imej sosok kucing berbiaya mahal pemeliharaannya, yang berjenis ras luar, Maine Coon yang memiliki bulu lebat, halus dan lembut serta berwarna coklat.
Alfi mengaksplorasi ide tentang sentilan-sindiran halus, gaya bahasa dengan majas yang menjadi kosa-kata tradisi lokal kita sebenarnya, yakni semenjak ribuan tahun, misalnya serupa syair atau pantun.
Sosok kucing bagi sebagian kelas menengah-atas perkotaan merupakan hak-keistimewaan kepemilikan untuk mencintai binatang peliharaan seolah anggota keluarga --pet, dari tata-bulu dengan fasilitas salon khusus (styling- gunting, kuku dan tata bulu), dokter hewan/veterinary surgeon yang mengatur keseimbangan nutrisi, bahkan sampai control makanan non pengawet yang menjamin bulu kucing tak rontok.
Dengan lambang citra kesuksesan dan kemapanan warga kelas menengah-atas kota, Alfi cukup menyampirkan sindiran halus dengan teks gaya anak muda “Semua Berhak Mendapatkan Pangan Yang Sehat!” telah menohok dalam benak kita.
Binatang saja diberlakukan dengan pemenuhan gizi yang premium, bagaimana dengan saudara-saudara kita yang berkekurangan gizi di wilayah Indonesia bagian Timur?—sesuai data dan grafik di Bapanas, tentang kerawanan pangan terjadi di Indonesia Timur dengan peta berwarna merah.
Isrol dengan elok memakai teknik stencil plus mural mengandaikan tingkat ketersediaan makanan, seperti lumbung yang menjamin kecukupan pasokan bahan pokok akan bermasalah jika tak ada generasi penerus petani, peternak, dan nelayan.
Padi-singkong, ayam dan ikan adalah triumvirat wujud kewaspadaan, tatkala anak-anak muda memilih tepung dan makanan berbasis olahan menu mie menjadi selera 60 persen populasi anak muda mngonsumsi makanan di desa dan kota.
Para petani millenial menjadi imajinasi Isrol, sekaligus mengatakan dengan gambar-gambar berwarna-warni bahwa menjadi petani sudah pasti keren tak kalah dengan menjadi seorang youtuber!
Isrol juga menambahkan teks: Menanam Kehidupan! Sebuah dialektika seni dan hidup terhampar di tembok di kompleks Teater Kecil, di Taman Ismail Marzuki bahwa jika seni memberi pencerah, maka seharusnya hidup berhulu dengan pangan dalam kecukupan.
Penulis mengingat, buku seminal Graham Wallas, tentang proses kreatifitas seseorang dari buku The Art of Thought, awal abad 20; yang menyampaikan bahwa seni sejatinya adalah proses personal sekaligus komunal yang bersisihan dengan proses saturasi yang terkait dengan informasi dan riset, kemudian inkubasi, yaitu proses reflektif ambang bawah sadar dan fase kristalisasi.
Pada tahap inkubasi di sana, ambang bawah sadar secara komunal kita, sebagai bangsa beririsan dan mengalami perjalanan reflektif yang sangat intim.
Inilah yang memprovokasi Isrol, pikiran-pikiran tentang yang Indonesia dan yang personal, tentang Petani-Peternak dan Nelayan, mampu mengurai, memaknai ulang sekaligus membaca secara nalar dan rasa atas fenomena atau peristiwa-peristiwa tentang daulat pangan tersebut.