JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menegaskan bahwa penyematan pangkat letnan kolonel tituler oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto kepada Deddy Corbuzier kurang tepat.
"Saya kira pemberian pangkat tituler itu justru kurang tepat. Kalau merujuk keterangan Kementerian Pertahanan, Deddy ditunjuk menjadi duta komcad (komponen cadangan) dan melakukan kampanye promosi di media sosial, sebagaimana kompetensinya," tegas Fahmi kepada Kompas.com, Minggu (11/12/2022).
Fahmi menuturkan, pemberian pangkat tersebut justru bentuk distorsi dan salah kaprah. Sebab, komcad, sebagaimana tugas yang diemban Deddy, merupakan wujud peran serta warga negara dalam bela negara dan implementasi sistem pertahanan semesta.
Baca juga: Deddy Corbuzier Sandang Letkol Tituler, Pengamat: Kesannya Murah dan Mudah Diberikan
Di sisi lain, Fahmi menilai penyematan pangkat tituler terhadap Deddy justru terkesan murah dan mudah diberikan.
Hal ini karena penyematan tersebut tak lain berangkat dari bentuk penghargaan, bukan penugasan.
"Ini kesannya kok pangkat tituler jadi murah dan mudah diberikan. Apalagi pangkat tersebut bukanlah bentuk penghargaan, melainkan penugasan. Ada konsekuensi yang melekat pada pangkat itu," kata Fahmi.
Fahmi mencontohkan penghargaan tituler yang diterima oleh sejumlah tokoh karena keberhasilannya dalam menjalankan tugasnya.
Misalnya, mendiang Idris Sardi, seorang komponis besar Indonesia yang mendapat pangkat tituler.
Baca juga: Deddy Corbuzier Dapat Pangkat Letkol Tituler TNI karena Jago Komunikasi di Medsos
Fahmi menyebutkan, Idris Sardi menerima tituler berkaitan dengan tugasnya memimpin dan membina Korps Musik TNI.
Pangkat ini diberikan karena dia harus memimpin dan mengendalikan sejumlah prajurit.
Selain Idris, ada pula sejarawan Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto, yang menerima pangkat brigadir jenderal tituler.
Pangkat diberikan karena Nugroho mendapat tugas memimpin Pusat Sejarah TNI dan menyusun sejarah nasional Indonesia merdeka.
"Hingga akhirnya menjadi Rektor UI serta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-1985)," ungkap Fahmi.
Sejalan dengan itu, Fahmi menegaskan, pemberian pangkat terhadap Deddy sebaiknya dibarengi dengan kejelasan mengenai tugas, sebagaimana tugas yang diemban oleh mendiang Idris Sardi dan Nugroho Notosusanto.
"Ini harus jelas. Pangkat tituler bukan hal main-main atau bisa diberikan suka-suka. Kalau tidak, mengapa menteri atau pejabat kementerian pertahanan yang berasal dari sipil dan non-ASN seperti para staf khusus menteri tidak mendapat pangkat tituler?" imbuh dia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.