Sebab, nilai hidup manusia tak lagi dihargai, dijatuhkan sampai titik nadir, dan Tuhan sebagai pemilik hak hidup manusia seolah dinafikan begitu saja.
Itulah politik kematian terorisme. Mereka memasarkan budaya kematian ini dengan menggunakan simbol-simbol agama karena membantu mereka mencapai tujuan mereka sendiri.
Bahwa pelaku bom bunuh diri--seperti dijelaskan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah Agus Sujatno alias Abu Muslim bin Wahid, yang ditangkap dalam kasus bom di Cicendo, Kota Bandung dan dipejara di Lapas Kelas II A Pasir Putih, Nusakambangan --ini sangat menarik kalau dikaitkan dengan program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)
Program deradikalisasi yang dilakukan sejak 2012, bertujuan menetralkan pemikiran-pemikiran mereka yang sudah terpapar dengan paham radikalisme.
Yang menjadi sasarannya adalah para teroris yang ada di dalam lapas maupun di luar lapas, sehingga mereka dapat berintegrasi dengan lebih baik ke dalam masyarakat begitu mereka dibebaskan. Ini merupakan soft approach terhadap mereka.
Apakah serangan bom bunuh diri oleh mantan napiter ini bisa dikatakan sebagai kegagalan deradikalisasi? Tentu, terlalu pagi mengambil kesimpulan itu.
Apalagi, kalau dibandingkan dengan berapa banyak teroris yang sudah ditangkap, dipenjara, menjalani deradikalisasi, dan "sembuh" serta kembali ke masyarakat.
Sebagai sekadar gambaran, menurut kata Kepala BNPT Komjen Boy Rafli Amar dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Selasa (25/1/2022), BNPT sedikitnya telah menindak 364 orang terduga teroris sepanjang 2021. Ini naik 138 orang dari yang berhasil ditangkap pada 2020 sebanyak 232 orang.
Menurut BNPT, sekitar 2.500 terduga teroris ditangkap antara tahun 2000 hingga 2021, sekitar 1.500 orang dibebaskan dari penjara, dan hampir 100 orang dari mereka ditangkap kembali dalam beberapa serangan atau karena merencanakan serangan.
Akan tetapi, walau "hanya" ada satu yang kemarin beraksi, namun ini tetap merupakan alarm tanda bahaya. Maka, tetap perlu usaha ekstra keras untuk mengatasi mereka, terorisme, yang ibarat kata "patah tumbuh hilang berganti."
Untuk membendung terorisme bunuh diri, beberapa elemen defensif dan ofensif harus dimanfaatkan.
Misalnya, untuk mengurangi motivasi serangan semacam itu dalam jangka panjang, hal-hal yang menimbulkan munculnya terorisme harus ditangani cepat dan tegas (apalagi sudah ada UU Terorisme, Nomor 5 Tahun 2018).
Penegakan hukum, mobilisasi publik, kerja sama antar-dinas dan internasional, domestik, merupakan elemen penting dari strategi nasional untuk melawan terorisme bunuh diri.
Peran intelijen sangat sentral, dengan tujuan mencegah terjadinya aksi terorisme dan terorisme bunuh diri sejak awal.
Langkah tersebut juga harus dibarengi dengan upaya untuk memisahkan mereka dari organisasi yang merencanakan dan melaksanakan serangan terorisme, yang sebenarnya pihak aparat keamanan mengetahuinya.
Dengan kata lain, diperlukan sinergisme yang kuat antara BNPT, Kemenkumham, Polri, dan para stakeholder terkait lainnya. Apalagi, sikap Presiden Jokowi jelas, "Tidak ada tempat bagi terorisme di tanah air."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.