Para ahli terorisme berpendapat bahwa serangan bom bunuh diri adalah taktik terorisme yang menakutkan (serangan bom bunuh diri pertama dilakukan 23 Oktober 1983 di Lebanon, yang menjadi korban marinir AS).
Karena serangan ini tidak hanya menghancurkan sasaran, tetapi lebih jauh lagi. Yakni, menciptakan suasana teror.
Itulah tujuan terorisme: menebar ketakutan, menciptakan kecemasan besar. Dan, dengan bom bunuh diri, mereka menyebarkan ketakutan ke tengah masyarakat.
Dengan kata lain, tujuan terorisme adalah menimbulkan efek psikologis, kerusakan psikologis. Efek psikologis ini akibatnya lebih jauh ketimbang menjadi korban langsung serangan. Misalnya, menjadi korban serangan rudal.
Kata Bruce Hoffman (The Atlantic Monthly, Juni 2003) secara umum, strategi pengebom bunuh diri adalah membuat orang paranoid dan xenofobia.
Ketika Irak, Suriah, dan Afganistan masih bergolak dalam tingkat tinggi, penggunaan "bom manusia" ini telah mengubah bentuk konflik.
"Bom manusia" (pengebom bunuh diri) telah menciptakan tidak hanya kekuatan kekerasan baru, tetapi juga kekuatan menakutkan (teror) baru ke tengah masyarakat.
Bom bunuh diri di ketiga negara itu, bisa terjadi di mana-mana: pasar, kantor pemerintah, kantor polisi, kendaraan umum, bahkan di tempat-tempat ibadah.
Mengapa mau menjadi pengebom bunuh diri? Mengapa ada orang yang memiliki (memilih) sikap atau perilaku agresif dan destruktif? Apakah, memang, nafsu-nafsu alamiah manusia itu cenderung membunuh? Pertanyaan seperti itu selalu muncul.
Ada yang beranggapan atau bahkan berkeyakinan bahwa pengebom bunuh diri adalah martir (syahid) heroik yang akan dihormati dalam kehidupan setelah kematian.
Karena itu, ISIS bersemboyan “mencintai kematian lebih dari mencintai kehidupan.” Kredo itu untuk memantapkan dirinya sebagai kelompok yang dapat membuka jalan menuju surga bagi para pengikutnya (Tony Blair Institute for Global Change, 13 September 2018).
Dalam bahasa Pedahzur, mereka yang mengagungkan misi bunuh diri, berusaha menciptakan "budaya kematian" di dalam masyarakat.
Inilah budaya tidak menghargai kehidupan. Berbeda dengan budaya kehidupan, yakni yang memberikan penghargaan tinggi terhadap martabat manusia; di mana hak hidup manusia akan dijunjung tinggi. Orang dianggap sebagai subjek dan bukan objek.
Secara singkat, menurut Evangelium Vitae (1995), budaya kematian dapat dirumuskan sebagai apa saja yang berlawanan dengan kehidupan sendiri, melanggar keutuhan pribadi manusia, dan apa pun yang melukai martabat manusia.
Budaya kematian ini, dalam konsekuensinya yang paling tegas, mencoreng peradaban manusiawi dan bertentangan dengan kemuliaan Sang Pencipta.