Di tengah kecamuk perang Rusia-Ukraina serta krisis pangan dan energi yang diakibatkannya, banyak pihak meragukan relevansi dan efektifitas KTT G20 Bali.
Sulit membayangkan Indonesia bisa mengumpulkan pemimpin dunia di tengah mood politik internasional sedang tidak baik-baik saja.
Ternyata 17 pemimpin negara hadir. Malah mampu pula menghasilkan kesepakatan politik berupa Leaders’ Declaration.
Kemampuan mempersatukan pemimpin negara di tengah gonjang-ganjing politik dunia merefleksikan nilai Persatuan seperti dititahkan Pancasila dalam sila ketiga.
Memenuhi undangan Indonesia, para pemimpin negara itu bersedia datang ke Bali untuk mencari solusi bagi kesejahteraan dan perdamaian dunia.
Bukan hal mudah. Indonesia sebagai tuan rumah kerja keras mencari titik-titik persamaan di antara berjuta perbedaan.
Meskipun begitu, tercapai juga kesepakatan politik. Upaya mencari solusi melalui dialog adalah manifestasi nilai musyawarah sesuai dengan sabda sila ke-4 Pancasila.
Kedua, dalam tataran substansi, Indonesia menetapkan tiga prioritas: infrastruktur kesehatan global, transformasi ekonomi digital, dan transisi energi berkelanjutan.
Pilihan isu prioritas bukan tanpa alasan. Ada pertimbangan ideologis di sana. Indonesia dengan sadar mengangkat isu pandemi.
Pandemi telah merenggut jutaan nyawa manusia. Tidak semua negara mampu mengatasinya, terutama negara miskin.
Mereka memiliki akses terbatas untuk memiliki alkes dan vaksin. Mereka perlu dibantu. Indonesia menetapkan masalah penyediaan vaksin sebagai prioritas karena ingin membantu negara yang tak mampu.
Naluri membantu negara tak mampu itu adalah wujud nyata nilai Kemanusiaan, seperti diamanatkan sila kedua Pancasila.
Transformasi ekonomi digital di tangan Indonesia diarahkan untuk memberdayakan usaha kecil menengah (UKM) agar mereka melek digital.
Dengan program digital literacy bagi UKM diharapkan mereka bisa naik kelas dan taraf hidupnya meningkat.
Memberdayakan UKM untuk kesejahteraan mengandung nilai Keadilan, persis seperti dititahkan sila kelima Pancasila.