JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito menampik bahwa lembaga yang dipimpinnya kecolongan terhadap pengawasan obat sirup yang menyebabkan gagal ginjal akut (acute kidney injury atau AKI) pada anak.
Kendati begitu, dia mengakui, ada celah (gap) dalam sistem jaminan keamanan dan mutu obat dari hulu ke hilir yang melibatkan banyak pihak.
Baca juga: Daftar Lengkap 294 Obat Sirup yang Dinyatakan Aman BPOM: Ada Rhinos, Sanmol, hingga Mylanta
Celah ini yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan obat dan makanan, salah satunya dengan mengoplos bahan baku obat tidak sesuai standar.
"Kami menyatakan bahwa BPOM tidak kecolongan, dikaitkan dengan aspek kejahatan, ini aspek kejahatan obat," kata Penny dalam konferensi pers di Gedung BPOM, Jakarta Pusat, Kamis (17/11/2022).
"Sistem pengawasan yang telah dilakukan BPOM sudah sesuai ketentuan," kata Penny lagi.
Penny menuturkan, celah sistem keamanan dan jaminan mutu ini melibatkan BPOM, perusahaan farmasi, pemasok bahan baku, importir bahan baku obat, dan distributor yang menyuplai bahan baku sampai ke perusahaan farmasi.
Dia mengatakan, sebelum mendistribusikan bahan baku, distributor kimia yang sudah mendapat sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) harus menguji terlebih dahulu keamanan bahan baku.
Perusahaan farmasi juga perlu melakukan pengujian sebelum menggunakannya untuk memproduksi obat.
Baca juga: Ditanya Soal Desakan Mundur, Kepala BPOM: Saya Enggak Akan Jawab Pertanyaan Aneh Itu
Saat melakukan impor bahan baku pun, BPOM akan mengawasi dengan menerbitkan Surat Keterangan Impor (SKI). SKI hanya berlaku untuk satu kali impor atau satu kali pemasukan barang. Importir harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan SKI pada setiap kali importasi.
"Di sini ada satu gap, gap itu sesuatu kesenjangan yang mana BPOM tidak terlibat dalam pengawasan. Kalau BPOM terlibat dalam pengawasan pemasokan dari bahan pelarut, pastinya ada pengawasan yang dilakukan pemasukan dengan surat keterangan impor," tutur Penny.
"Kalau dilakukan dengan surat keterangan impor itu, pasti sudah ada pengawasan dari BPOM di awal," jelas dia lagi.
Penny menjabarkan, setidaknya ada 6 celah yang dimanfaatkan pelaku kejahatan. Pertama, pemasukan bahan pelarut yang merupakan komoditi non-lartas tidak melalui pengawasan dan tidak memiliki Surat Keterangan Impor (SKI) BPOM.
Baca juga: Ditanya Soal Desakan Mundur, Kepala BPOM: Saya Enggak Akan Jawab Pertanyaan Aneh Itu
Kedua, tidak adanya ketentuan batas cemaran EG/DEG dalam produk obat jadi pada Farmakope Indonesia maupun internasional.
Lalu, kondisi maturitas industri farmasi yang beragam yang harus dijadikan dasar untuk penetapan kebijakan yang berdampak pada masyarakat luas dan ekonomi.
Kemudian adanya kelangkaan (shortage) bahan baku obat dan perbedaan harga antara pelarut standar farmasi (pharmaceutical grade) dengan chemical grade dalam periode tertentu yang dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan.
Selanjutnya, sistem pelaporan Monitoring Efek Samping Obat (MESO) tidak digunakan oleh tenaga Kesehatan.
Begitu pula tidak adanya efek jera dari perkara hukum selama ini pada kasus kejahatan obat dan makanan karena belum pernah ada bukti yang menyebabkan kematian.
"Jadi bukan karena BPOM tidak melakukan pengawasan tapi karena aturan yang ada sekarang tidak ada dalam pengawasan BPOM, pada titik awal terjadinya kejahatan ini. terjadinya kasus ini, adanya pemasokan yang tidak memenuhi ketentuan dan kemudian terdistribusikan," jelas Penny.
Baca juga: BPOM: Pihak PT Yarindo Farmatama dan PT Universal Sudah Ditetapkan Jadi Tersangka
Sebagai informasi, BPOM menjadi sorotan usai kasus gagal ginjal akut akibat keracunan obat sirup merebak pada Agustus 2022. Kepala BPOM bahkan diminta mundur karena dianggap lalai melakukan pengawasan.
Adapun sejauh ini, BPOM sudah menindak lima industri farmasi dengan mencabut sertifikat CPOB dan izin edar. Lima perusahaan tersebut, yaitu PT Yarindo Farmatama, PT Universal Pharmaceutical Industries, PT Afi Farma, PT Samco Farma, dan PT Ciubros Farma.
BPOM juga telah mencabut sertifikat CDOB terhadap dua pedagang besar farmasi (PBF), yaitu PT Megasetia Agung Kimia PT Tirta Buana Kemindo karena mendistribusikan bahan baku obat tidak sesuai ketentuan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.