Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah dari Wisma Yaso, Hari-hari Terakhir Soekarno yang Kini Disorot PDI-P...

Kompas.com - 09/11/2022, 15:59 WIB
Fitria Chusna Farisa

Editor

Terbitnya MPRS Nomor 33/1967 menandakan runtuhnya era kekuasaan Sang Proklamator.

Baca juga: Ende, Bung Karno, dan Lahirnya Pancasila

Hari-hari terakhir

Kehidupan Soekarno berubah drastis setelah itu. Dia diusir dari singgasananya di Istana Negara Jakarta.

Bung Karno sempat menjadi "tahanan rumah" di Istana Bogor, lalu berpindah ke Wisma Yaso di Jakarta.

Di rumahnya itu, Soekarno tak punya teman bicara. Bahkan, anak-anak Soekarno hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas.

Yuanda Zara dalam bukunya Ratna Sari Dewi Sukarno, Sakura di Tengah Prahara (2008) menyebutkan, pembicaraan dan tingkah laku setiap orang yang menjenguk Soekarno diawasi penjaga dengan ketat.

Tak hanya terasing, hari-hari terakhir Soekarno juga harus dilewati dengan menjalani pemeriksaan terkait peristiwa G 30 S/PKI di kediamannya.

Sejak tinggal di Wisma Yaso, kondisi Soekarno terus memburuk. Presiden pertama RI itu memang menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi sejak lama.

Kendati kesehatannya begitu buruk, Soekarno tak mendapat perawatan yang memadai.

Setelah tiga tahun melewati hari-hari sunyi, akhirnya, Bung Karno mengembuskan napas terakhirnya pada Minggu, 21 Juni 1970.

TAP MPRS dicabut

Seiring berjalannya waktu, pemerintah mencabut TAP MPRS Nomor 33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.

Pencabutan ketetapan aturan itu dituangkan dalam TAP MPR Nomor I/2003. Saat itu, MPR dipimpin oleh Amien Rais.

Namun, sebelumnya, pada 1986 pemerintahan Presiden Soeharto telah menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator untuk Bung Karno.

Baca juga: Soeharto, Pembubaran PKI, dan Murkanya Presiden Soekarno

Sementara, pada tahun 2012, Bung Karno dianugerahi Pahlawan Proklamator oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Presiden Joko Widodo mengatakan, ini menjadi bukti bahwa negara mengakui dan menghormati kesetiaan serta jasa-jasa Soekarno.

"Artinya, Ir Soekarno telah dinyatakan memenuhi syarat setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar kepahlawanan," kata Jokowi dalam keterangan pers, Senin (7/10/2022).

Negara minta maaf

Sementara, bagi PDI-P, pencabutan TAP MPRS Nomor 33/1967 dan pemberian gelar Pahlawan Nasional sepertinya belum cukup. Partai berlambang banteng itu ingin negara minta maaf ke Soekarno dan keluarga.

Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah mengatakan, permintaan maaf ini penting karena tudingan pengkhianatan Soekarno tak terbukti.

"Maka permohonan maaf dari negara melalui pemerintah kepada Bung Karno dan keluarga adalah bagian dari tanggungjawab moral berbangsa dan bernegara kita," kata Basarah.

Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR itu juga berpandangan bahwa permintaan maaf diperlukan supaya anak cucu atau generasi selanjutnya terus menghormati jasa para pahlawan terutama para pendiri bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Terkini Lainnya

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Bawaslu Papua Tengah Telat Masuk Sidang dan Tak Dapat Kursi, Hakim MK: Kalau Kurang, Bisa Dipangku

Nasional
Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Sengketa Pileg di Papua Tengah, MK Soroti KPU Tak Bawa Bukti Hasil Noken

Nasional
Dilema Prabowo Membawa Orang 'Toxic'

Dilema Prabowo Membawa Orang "Toxic"

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi soal Kabinet ke Megawati, Pengamat: Harus Koordinasi dengan Prabowo

Nasional
Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Soal Kabinet Prabowo-Gibran, Pengamat Ingatkan Bukan Sekadar Bagi-bagi Kekuasaan

Nasional
Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Sidang Perdana Praperadilan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor Digelar Hari Ini

Nasional
Menakar Siapa Orang 'Toxic' yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Menakar Siapa Orang "Toxic" yang Dimaksud Luhut, Lebih Relevan ke Kubu 01?

Nasional
Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Niat Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati soal Kabinet Dimentahkan PDI-P

Nasional
SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

SBY Doakan dan Dukung Prabowo Sukses Jaga Keutuhan NKRI sampai Tegakkan Keadilan

Nasional
'Presidential Club', 'Cancel Culture', dan Pengalaman Global

"Presidential Club", "Cancel Culture", dan Pengalaman Global

Nasional
Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Hari Ini, Hakim Agung Gazalba Saleh Mulai Diadili dalam Kasus Gratifikasi dan TPPU

Nasional
Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang 'Toxic' ke Dalam Pemerintahan

Respons Partai Pendukung Prabowo Usai Luhut Pesan Tak Bawa Orang "Toxic" ke Dalam Pemerintahan

Nasional
Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Bongkar Dugaan Pemerasan oleh SYL, KPK Hadirkan Pejabat Rumah Tangga Kementan

Nasional
Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Soal Maju Pilkada DKI 2024, Anies: Semua Panggilan Tugas Selalu Dipertimbangkan Serius

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com