Terbitnya MPRS Nomor 33/1967 menandakan runtuhnya era kekuasaan Sang Proklamator.
Baca juga: Ende, Bung Karno, dan Lahirnya Pancasila
Kehidupan Soekarno berubah drastis setelah itu. Dia diusir dari singgasananya di Istana Negara Jakarta.
Bung Karno sempat menjadi "tahanan rumah" di Istana Bogor, lalu berpindah ke Wisma Yaso di Jakarta.
Di rumahnya itu, Soekarno tak punya teman bicara. Bahkan, anak-anak Soekarno hanya diizinkan menjenguk dengan waktu terbatas.
Yuanda Zara dalam bukunya Ratna Sari Dewi Sukarno, Sakura di Tengah Prahara (2008) menyebutkan, pembicaraan dan tingkah laku setiap orang yang menjenguk Soekarno diawasi penjaga dengan ketat.
Tak hanya terasing, hari-hari terakhir Soekarno juga harus dilewati dengan menjalani pemeriksaan terkait peristiwa G 30 S/PKI di kediamannya.
Sejak tinggal di Wisma Yaso, kondisi Soekarno terus memburuk. Presiden pertama RI itu memang menderita penyakit batu ginjal, peradangan otak, jantung, dan tekanan darah tinggi sejak lama.
Kendati kesehatannya begitu buruk, Soekarno tak mendapat perawatan yang memadai.
Setelah tiga tahun melewati hari-hari sunyi, akhirnya, Bung Karno mengembuskan napas terakhirnya pada Minggu, 21 Juni 1970.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah mencabut TAP MPRS Nomor 33/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno.
Pencabutan ketetapan aturan itu dituangkan dalam TAP MPR Nomor I/2003. Saat itu, MPR dipimpin oleh Amien Rais.
Namun, sebelumnya, pada 1986 pemerintahan Presiden Soeharto telah menganugerahkan gelar Pahlawan Proklamator untuk Bung Karno.
Baca juga: Soeharto, Pembubaran PKI, dan Murkanya Presiden Soekarno
Sementara, pada tahun 2012, Bung Karno dianugerahi Pahlawan Proklamator oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Presiden Joko Widodo mengatakan, ini menjadi bukti bahwa negara mengakui dan menghormati kesetiaan serta jasa-jasa Soekarno.
"Artinya, Ir Soekarno telah dinyatakan memenuhi syarat setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar kepahlawanan," kata Jokowi dalam keterangan pers, Senin (7/10/2022).
Sementara, bagi PDI-P, pencabutan TAP MPRS Nomor 33/1967 dan pemberian gelar Pahlawan Nasional sepertinya belum cukup. Partai berlambang banteng itu ingin negara minta maaf ke Soekarno dan keluarga.
Ketua DPP PDI-P Ahmad Basarah mengatakan, permintaan maaf ini penting karena tudingan pengkhianatan Soekarno tak terbukti.
"Maka permohonan maaf dari negara melalui pemerintah kepada Bung Karno dan keluarga adalah bagian dari tanggungjawab moral berbangsa dan bernegara kita," kata Basarah.
Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR itu juga berpandangan bahwa permintaan maaf diperlukan supaya anak cucu atau generasi selanjutnya terus menghormati jasa para pahlawan terutama para pendiri bangsa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.