KOMPAS.com – Dalam perkara pidana, dikenal istilah alat bukti dan barang bukti.
Keduanya memiliki peran yang sangat penting untuk mengungkap kebenaran akan suatu peristiwa pidana yang terjadi.
Lalu, apa perbedaan alat bukti dan barang bukti dalam perkara pidana?
Baca juga: Jenis Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
Dalam acara pidana, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah. Artinya, hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang.
Perihal alat bukti ini diatur dengan UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Menurut KUHAP, alat bukti yang sah terdiri atas:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
Ketentuan ini dibuat untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.
Dengan begitu, hal-hal yang di luar dari ketentuan ini tidak dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.
Baca juga: Apa Hukuman bagi Saksi yang Berbohong di Persidangan?
KUHAP tidak menerangkan dengan jelas mengenai barang bukti. Namun, dalam Pasal 39 KUHAP disebutkan, barang-barang yang dapat disita oleh penyidik.
Barang atau benda yang dapat dikenakan penyitaan, yaitu:
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana sepanjang memenuhi ketentuan ini.
Selain itu, perihal barang bukti juga dapat ditemukan dalam Herzien Inlandsch Reglement (HIR).
Pasal 42 HIR menyebutkan bahwa pegawai, pejabat dan orang-orang yang berwenang harus mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu kejahatan, barang yang dicuri, dan barang yang didapat atau dihasilkan dengan jalan kejahatan.
Dalam penjelasannya, barang-barang yang dapat digunakan sebagai bukti dibagi menjadi:
Barang-barang bukti ini merupakan bagian dari pembuktian dalam suatu peristiwa pidana.
Referensi: