JAKARTA, KOMPAS.com - Pilihan elektoral warga Nahdlatul Ulama (NU) disebut tidak bisa disimplifikasi ke dalam satu pihak tertentu, baik pilihan calon presiden (capres) maupun partai politik (parpol) pada Pemilu 2024.
Dalam survei yang dilakukan Indikator Politik, September 2022, pilihan partai politik warga NU justru lebih banyak terdistribusi pada PDI-P (25 persen) dan Gerindra (12,9 persen) ketimbang PKB (10,9 persen) yang secara historis berkaitan erat dengan NU.
Sementara itu, terkait pilihan capres, aspirasi warga NU justru terdistribusi paling banyak ke Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, Anies Baswedan, Ridwan Kamil, dan Agus Harimurti Yudhoyono, tanpa nama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dalam 5 besar.
"Kalau kita lihat, itu terbukti pilihan warga NU, orang yang merasa dekat dengan NU itu tidak bisa diringkus dalam satu pilihan elektoral yang bersifat tunggal," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi dalam forum Satu Meja di Kompas TV, Rabu (2/11/2022).
Baca juga: R20 dan Arah Politik NU
Menurut Burhanuddin, aspirasi ini justru mirip dengan aspirasi nasional yang terekam dalam survei-survei aneka lembaga.
"Jadi, ini persis dengan logo NU yang menggambarkan tali bumi yang bersifat longgar. Artinya, logo NU ini sendiri di desain oleh para ulama untuk bisa menampung semua karena beragam cara pandang termasuk juga afiliasi politik," ujar Burhanuddin.
Keadaan ini pun didukung sikap Ketum PBNU saat ini, Yahya Cholil Staquf, yang mengklaim bahwa bandul NU tidak akan berat sebelah ke kubu politik mana pun.
Gus Yahya juga tidak mewajibkan pilihan elektoral warga NU dan cenderung membebaskan warga NU mengembangkan aspirasinya masing-masing.
Baca juga: Gus Yahya Minta Kontestan Pemilu Tak Bawa-bawa Identitas NU
Burhanuddin Muhtadi menilai langkah Gus Yahya krusial agar netralitas NU tetap terjaga dan tidak diperalat sebagai senjata politik.
Di sisi lain, keberagaman aspirasi masyarakat NU juga sudah tampak sejak lama.
Pada Pilpres 2004, pemilih NU terepresentasikan di tiga pasangan calon, yakni SBY-Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri-Hamzah Has, dan Wiranto-Sholahuddin Wahid.
"Karena memang NU ini seksi secara politik. Sejak 2004 Pilpres digelar pertama kali di Indonesia, tidak ada capres yang bisa menang tanpa memenangkan NU," ujar Burhanuddin Muhtadi.
"Warga NU punya preferensi yang tidak bisa sepenuhnya dikendalikan para elite. Jika merujuk pengalaman 2004, uniknya, warga NU, orang yang merasa dekat dengan NU paling banyak justru memilih SBY dan JK," katanya lagi.
Baca juga: Elite Ramai-ramai Temui Tokoh NU, Pengamat: Suara Nahdliyin “Seksi”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.