AKHIR-akhir ini banyak peristiwa yang dialami institusi Polri, mulai dari peristiwa Duren III yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan sejumlah polisi, tragedi Kanjurahan, hingga kasus narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa.
Menurut Barker Thomas dan Charter L. David, penyimpangan perilaku Polisi merupakan gambaran umum tentang kegiatan polisi yang tidak sesuai dengan wewenang resmi petugas, wewenang organisasi, nilai dan standar perilaku sopan.
Seorang ahli kriminolog Amerika Serikat, Edwin Hardin Sutherland (Anton Tabah, 1991), menyatakan bahwa ada empat hal yang memengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan, yakni lingkungan yang memberi kesempatan untuk menimbulkan kejahatan, lingkungan pergaulan yang memberikan contoh atau teladan kurang baik, lingkungan ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dll), dan lingkungan pergaulan yang berbeda-beda.
Sementara Kombes Pol Nurcholis (Buku Irjen Pol (Purn) I Ketut Astawa, 2016, 89) menyatakan, perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh Polri dipengaruhi oleh faktor internal, yakni kepemimpinan, birokrasi yang feodal, hubungan atasan dan bawahan, tidak adanya standarisasi keberhasilan tugas, belum optimalnya sistem penilaian kinerja, pembinaan yang belum maksimal dan tidak berdasarkan merit sistem.
Sementara faktor eksternal, salah satunya lingkungan masyarakat.
Krisis moneter tahun 1997 berkembang menjadi krisis ekonomi yang menimbulkan gejolak setelah masyarakat menentang pemerintah.
Reaksi tersebut menimbulkan gelombang unjuk rasa yang menuntut pemerintah agar segera mengambil tindakan untuk menurunkan harga kebutuhan pokok.
Puncak dari reaksi masyarakat adalah insiden Trisakti yang menyebabkan jatuhnya empat korban meninggal dan beberapa mahasiswa terluka hingga memicu kerusuhan massa pada 13 Mei 1998.
Pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri, yang digantikan secara otomotis oleh Wakil Presiden B.J. Habibie.
Dengan bergulirnya era reformasi di Indonesia, memunculkan tuntutan masyarakat agar Polri memisahkan diri dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Harapannya, Polri menjadi lembaga profesional dan mandiri, jauh dari intervensi dalam rangka penegakan hukum.
Hal tersebut didasari perbedaan dalam pelaksanaan tugas. Polisi seharusnya bertugas mengamankan masyarakat dalam menciptakan ketertiban dan keamanan. Sedangkan tugas militer mengamankan negara dari ancaman musuh atau sebagai alat untuk bertempur.
Sejalan dengan tuntutan yang ada, pada 1 April 1999 dikeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia No 2 Tahun 1999 tentang langkah-langkah kebijakan dalam rangka pemisahan Polri dari ABRI.
Pada Inpres tersebut, diinstruksikan kepada Menteri Pertahanan Keamanan dan Panglima ABRI secara bertahap mulai mengambil langkah-langkah seperlunya untuk melakukan reformasi Polri dengan menempatkan sistem dan penyelenggaraan pembinaan kekuatan dan operasional Polri pada Departemen Pertahanan Keamanan.
Dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat 4 berbunyi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai alat negara menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum.
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka pada 18 Agustus 2000, MPR mengeluarkan Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan Polri dan TNI, sesuai dengan peran dan fungsi dari masing-masing kelembagaan yang terpisah.
Lalu lahir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 8 Januari 2002.
UU tersebut dilatarbelakangi tuntutan agar Polri yang mandiri dan terlepas dari ABRI sehingga dapat melaksanakan tugas secara profesional sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya.
Akhir-akhir ini wacana reformasi di tubuh Polri kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat, pemerintah, akademisi, hingga praktisi.
Tentunya wacana ini tidak muncul secara tiba-tiba. Wacana menguat pascarentetan kasus yang melibatkan polisi. Reformasi Polri selama ini belum selesai.
Terkait peristiwa yang beruntun tersebut, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan lima arahan kepada jajaran Polri.