Perkembangan ini tentunya harus direspons dengan tepat, baik melalui pembaharuan hukum, penguatan aparat penegak hukum maupun membangun budaya nir kekerasan dan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Korban KTI umumnya tidak hanya mendapatkan satu bentuk kekerasan, ia bisa mendapatkan lebih dari satu bentuk kekerasan.
Misalnya, korban kekerasan fisik juga akan mengalami kekerasan psikis dan berpotensi mengalami penelantaran.
Dari berbagai bentuk kekerasan, korban akan mengalami berbagai dampak baik fisik, psikis, ekonomi maupun relasi sosial.
Akibat kekerasan fisik, korban dapat menderita berbagai jenis luka (robek, lebam, bakar) pada bagian tubuh, sampai patah tulang atau keguguran. Juga dapat mengakibat fatal korban menjadi disabilitas, sampai pada kematian.
Kematian korban akibat KDRT dikategorikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan (femisida) yang dimintakan perhatiannya di seluruh dunia.
Dampak psikis seperti mengalami kesulitan tidur, ketakutan, kecemasan, tidak berdaya, keinginan untuk menyakiti diri sendiri, menggunakan narkoba sampai mengalami gangguan jiwa.
Pada kasus perselingkuhan korban juga akan kehilangan kepercayaan diri sebagai perempuan.
Dampak ekonomi nampak dari korban yang kehilangan pekerjaan karena kinerjanya dinilai buruk akibat seringnya tidak masuk kerja, atau dilarang bekerja, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga, kehilangan barang milik pribadi sampai pada beban untuk melunasi hutang. Kondisi ini menunjukkan perempuan mengalami pemiskinan.
Sedangkan secara sosial, korban mengalami stigma sebagai isteri yang tidak baik, dipersalahkan, dirudung baik secara langsung maupun siber, sampai korban menarik diri dari pergaulan dengan keluarga, teman sebaya atau komunitasnya.
Sementara secara khusus terdapat dampak yang khas pada korban dari kalangan selebritas, yaitu perundungan, mengekspos kehidupan pribadinya dan menjawab berbagai pertanyaan yang dapat memicu traumanya.
Kekerasan yang dialami akan menyebabkan perempuan kehilangan kemampuannya untuk berkarya. Kondisi ini yang mempertajam ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan.
Sayangnya, penegakan UU PKDRT masih menghadapi sejumlah hambatan. Di antaranya: pertama, budaya yang masih membenarkan terjadinya kekerasan dan persoalan KDRT dianggap sebagai persoalan rumah tangga masing-masing. Dampaknya, korban menghindari mengungkap kekerasan ke publik.
Kedua, infrastruktur penegakan UU PKDRT seperti sanksi kewajiban mengikuti program konseling bagi pelaku dan pembatasan gerak pelaku belum ditindaklanjuti secara optimal dengan peraturan maupun kelembagaan yang melaksanaannya.
Sehingga pelaku tidak mendapatkan pembinaan untuk mengubah perilakunya dan tidak mengulangi kekerasan.