REALITAS sosial menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan masih berlangsung di segala ruang; domestik (rumah tangga) maupun publik, di segala waktu dan dilakukan oleh banyak orang dengan identitas sosio-kultural yang beragam, dari yang dianggap sebagai "orang terhormat", terpelajar dan dianggap "shaleh" sampai yang dianggap "orang rendahan" dan "manusia pinggiran".
Pada sisi lain, kekerasan terhadap perempuan dalam kenyataannya tidak hanya dilakukan secara individual, melainkan juga oleh institusi sosial, ekonomi, politik, dan budaya.
Kita juga boleh jadi kehilangan akal untuk dapat mengidentifikasi secara pasti identitas orang yang diharapkan dapat menjamin keamanan perempuan dari kemungkinan menjadi korban kekerasan.
Orang-orang yang paling dekat dan paling terpercaya dengan perempuan sekalipun seperti ayah, kakak, adik, paman dalam sejumlah kasus terbukti juga terlibat dalam aksi kekerasan.
Fakta-fakta kekerasan dalam rumah tangga (domestik) yang ditemukan oleh berbagai lembaga yang peduli terhadap perempuan menunjukkan jumlah yang jauh lebih besar daripada yang lainnya.
Dalam waktu terakhir, kekerasan terhadap perempuan muncul dengan modus 'baru' yang disebut trafficking atau perdagangan perempuan (Muhammad Hussen, Kompas Oktober 2002).
Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, pada Pasal 1 menegaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “kekerasan terhadap perempuan”, yaitu setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.
UU No. 23 Tahun 2004 secara tegas mengatur pengertian kekerasan dalam rumah tangga pada Pasal 1 butir 1: Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam dalam lingkup rumah tangga.
Secara filisofis kehadiran UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT adalah guna menjaga harkat dan martabat manusia dari segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga dengan memberikan sanksi bagi pelakunya.
Di samping itu, UU P-KDRT juga memperhatikan perlindungan korban dan bersifat mencegah terjadinya terhadap korban secara berulang.
Sayangnya pemahaman tentang hal ini – dalam banyak kasus – tidak sepenuhnya tercapai. Meskipun sudah dilakukan proses hukum, perempuan memilih memaafkan dan menyelesaikan kasus KDRT yang dialaminya secara damai.
Sebutlah salah satu contoh kasus Lesty-Billar, polisi mengiyakan permintaan pelaku dan kuasa hukum untuk menghentikan kasus ini secara damai, meskipun pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Polisi berdalih penyelesaian ini menggunakan Keadilan Restoratif, merupakan sebagai langkah Polri dalam mewujudkan penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan serta kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan merupakan suatu kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Kapolri pada Perkap No 8 Tahun 2021, Pasal 1 angka 3 merumuskan Keadilan Restoratif Justice adalah Penyelesaian tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, atau pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil melalui perdamaian dengan menekankan pemilihan kembali pada keadaan semula.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, yaitu :