Undang-undang ini menjadi pembaharuan hukum yang mengatur tindak pidana kekerasan di ranah rumah tangga sebagai upaya perlindungan terhadap perempuan dan anak.
Di tengah peringatannya, dilaporkan kekerasan terhadap LK yang diduga dilakukan RB, suaminya. Disusul munculnya konten prank laporan KDRT yang dilakukan pasutri BW dan PV.
Dari kedua hal ini masih terdapat pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga sebagai hal sepele atau hal biasa, bahkan dijadikan konten prank.
Hal ini menunjukkan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus belum tersosialisasikan dengan baik.
KDRT berkembang dan semakin kompleks
Catahu Komnas Perempuan 2004 - 2020 mencatat 2.667.134 kasus kekerasan di ranah rumah tangga dan personal.
Pada 2021, dari 338.496 kasus kekerasan terhadap perempuan, tercatat 335.399 kasus (99 persen) terjadi di ranah rumah tangga dan personal.
Posisi ini masih sama dengan tahun-tahun sebelumnya, bahwa ini selalu menempati kasus tertinggi yang dilaporkan (Komnas Perempuan: 2021).
Tentunya angka ini adalah puncak gunung es dari yang sebenarnya terjadi. Korban membutuhkan keberanian, dukungan, dan respons yang tepat dari keluarga, masyarakat dan negara untuk mengadukannya.
Dari tingginya angka kekerasan di ranah KDRT dan personal ini, menunjukkan bahwa rumah, relasi perkawinan atau relasi intim tidak selalu aman. Perempuan, anak perempuan, PRT atau yang pada posisi subordinat rentan mendapatkan kekerasan.
Terhadap siapakah kekerasan terjadi? Dari pengaduan ke Komnas Perempuan dan lembaga layanan, kekerasan terhadap isteri menempati urutan pertama dan yang paling minim diadukan adalah kekerasan terhadap PRT.
Tingginya kekerasan terhadap isteri secara tidak langsung menyebabkan penyempitan makna bahwa KDRT adalah kekerasan terhadap istri.
Padahal KDRT tidak terbatas pada isteri, tapi juga menimpa mereka yang berada pada posisi subordinat atau tidak memiliki kuasa dalam lingkup keluarga, seperti isteri, anak perempuan, perempuan lansia, pekerja rumah tangga atau anggota keluarga lainnya.
Siklus, kerentanan dan bentuk kekerasan terjadi pula dalam relasi personal seperti pacaran atau setelah putusnya relasi perkawinan atau pacaran.
Sementara, pola kekerasan terhadap isteri kini telah berkembang dan kompleks sedemikian rupa, di antaranya:
Perkembangan ini tentunya harus direspons dengan tepat, baik melalui pembaharuan hukum, penguatan aparat penegak hukum maupun membangun budaya nir kekerasan dan relasi yang setara antara laki-laki dan perempuan.
Dampak kekerasan
Korban KTI umumnya tidak hanya mendapatkan satu bentuk kekerasan, ia bisa mendapatkan lebih dari satu bentuk kekerasan.
Misalnya, korban kekerasan fisik juga akan mengalami kekerasan psikis dan berpotensi mengalami penelantaran.
Dari berbagai bentuk kekerasan, korban akan mengalami berbagai dampak baik fisik, psikis, ekonomi maupun relasi sosial.
Akibat kekerasan fisik, korban dapat menderita berbagai jenis luka (robek, lebam, bakar) pada bagian tubuh, sampai patah tulang atau keguguran. Juga dapat mengakibat fatal korban menjadi disabilitas, sampai pada kematian.
Kematian korban akibat KDRT dikategorikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan (femisida) yang dimintakan perhatiannya di seluruh dunia.
Dampak psikis seperti mengalami kesulitan tidur, ketakutan, kecemasan, tidak berdaya, keinginan untuk menyakiti diri sendiri, menggunakan narkoba sampai mengalami gangguan jiwa.
Pada kasus perselingkuhan korban juga akan kehilangan kepercayaan diri sebagai perempuan.
Dampak ekonomi nampak dari korban yang kehilangan pekerjaan karena kinerjanya dinilai buruk akibat seringnya tidak masuk kerja, atau dilarang bekerja, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup keluarga, kehilangan barang milik pribadi sampai pada beban untuk melunasi hutang. Kondisi ini menunjukkan perempuan mengalami pemiskinan.
Sedangkan secara sosial, korban mengalami stigma sebagai isteri yang tidak baik, dipersalahkan, dirudung baik secara langsung maupun siber, sampai korban menarik diri dari pergaulan dengan keluarga, teman sebaya atau komunitasnya.
Sementara secara khusus terdapat dampak yang khas pada korban dari kalangan selebritas, yaitu perundungan, mengekspos kehidupan pribadinya dan menjawab berbagai pertanyaan yang dapat memicu traumanya.
Kekerasan yang dialami akan menyebabkan perempuan kehilangan kemampuannya untuk berkarya. Kondisi ini yang mempertajam ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan.
Sayangnya, penegakan UU PKDRT masih menghadapi sejumlah hambatan. Di antaranya: pertama, budaya yang masih membenarkan terjadinya kekerasan dan persoalan KDRT dianggap sebagai persoalan rumah tangga masing-masing. Dampaknya, korban menghindari mengungkap kekerasan ke publik.
Kedua, infrastruktur penegakan UU PKDRT seperti sanksi kewajiban mengikuti program konseling bagi pelaku dan pembatasan gerak pelaku belum ditindaklanjuti secara optimal dengan peraturan maupun kelembagaan yang melaksanaannya.
Sehingga pelaku tidak mendapatkan pembinaan untuk mengubah perilakunya dan tidak mengulangi kekerasan.
Ketiga, korban mencabut laporan memperlihatkan upaya penyelesaian non hukum dijadikan pilihan penyelesaian.
Pencabutan laporan dikarenakan posisinya yang subordinat, tekanan keluarga, ketergantungan emosi dan finansial, kekhawatiran terhadap relasi perkawinan dan anak serta dipersalahkan.
Keempat, perspektif aparat penegak hukum yang belum memiliki perspektif gender dan korban.
Dari dampak dan hambatan di atas, kekerasan terhadap isteri bukanlah hal sepele. KDRT adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.
Membangun dan mengoptimalkan infrastruktur UU PKDRT, meningkatkan kapasitas aparat dan lembaga layanan, serta terus membangun kesadaran bahwa kekerasan tidak dibenarkan menjadi PR besar kita.
https://nasional.kompas.com/read/2022/10/18/07000001/18-tahun-uu-pkdrt--dukung-keadilan-dan-pemulihan-korban