Penunjukkan penjabat ini menjadi kritikan dari berbagai pihak. Utamanya dari masyarakat sipil. Waktu kekuasannya lama; ada yang dua tahun dan kurang dari dua tahun, namun mereka ditunjuk oleh pemerintah pusat.
Hal ini memperlihatkan sentralisasi kekuasaan yang menimbulkan ancaman bagi demokratisasi birokrasi pasca-otoritarianisme.
Di saat itulah muncul wacana, bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sedang membahas wacana ini.
MPR mencoba mengkaji regulasi system electoral untuk mengembalikan Pilkada lewat DPRD. Masih seperti biasa, wacana ini sebagian menentang dan sebagian mendukung.
Di saat perbedaan pendapat, yang dibutuhkan adalah keseriusan mengkaji untuk sisi kekurangan dan kelebihannya bagi bangsa dan negara.
Karena itu, saya dalam tulisan ini ingin mencoba menguraikan kelebihan dan kekurangan dari kedua pemilihan tersebut ditinjau dari perspektif politik hukum.
Politik hukum dapat dimaknai sebagai cara untuk memilih sistem hukum yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertertentu dalam masyarakat.
Sebagai sebuah keinginan yang hendak digunakan sebagai sistem, pemilukada maupun Pilkada memiliki sisi kelemahan dan kelebihan.
Pilkada merupakan sarana untuk menentukan siapa yang akan menjadi gubernur dan bupati/wali kota. Begitu juga dengan Pemilukada. Keduanya memiliki tujuan yang sama untuk menentukan siapa yang berhak memimpin daerah.
Bedanya, penentuan kepala daerah melalui Pilkada ditentukan oleh DPRD. Artinya pemilihan dilakukan lewat DPRD.
Pemilihan dengan sistem perwakilan seperti ini merupakan sistem permusyawaratan yang dikenal oleh bangsa Indonesia dan menjadi sebuah falsafah kebangsaan.
Pilkada sebagai sistem pemilihan memiliki keunggulan tersendiri bagi masyarakat demokratis. Rakyat tidak disibukkan dengan persoalan-persoalan pemilu yang setiap saat dapat menghentikan aktivitas masyarakat.
Dalam hal ini Pilkada bisa meminimalkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Maka pemilihan lewat DPRD sangat rasional untuk mengatasi hal demikian.
Bukan hanya rakyat yang disibukkan, Mahkamah Konstitusi pun disibukkan dengan urusan Pemilukada.
Setiap Pemilukada, MK harus berhadapan dengan sengketa yang cukup melelahkan. Bahkan dalam kasus suap Akil Mochtar kita tahu, pemilukada telah menyeret institusi moral dan mulia ini pada korupsi.