Politik uang telah menjadi rahasia umum. Setiap saat sudah menjadi bagian dari kampanye politik yang terjadi di tengah masyarakat.
Masyarakat disuap hanya untuk memilih calon tertentu: memanjakan masyarakat dengan suap saat pemilihan, tapi menghentikan pembangunan untuk mengembalikan uang suap setelah menjabat.
Meskipun sudah ada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tapi praktik politik uang masih menjadi bagian terpenting dalam pemilukada, sehingga efektivitas lembaga pengawas pemilu juga terbatas untuk menangkal politik uang.
Kita tahu, Pemilukada menjadi mahal. Calon-calon Kepala daerah harus memiliki uang yang banyak untuk memenangkan pertarungan.
Untuk memperoleh uang itu, maka para calon menggunakan cara-cara melawan hukum. Itulah yang dikatakan oleh Mahfud MD, sebanyak 92 calon kepala daerah dibiayai cukong.
Bantuan dana dari cukong itu tidak sedikit. Setelah terpilih, para calon kepala daerah akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut.
Dari data yang dirilis KPK (2021) ada 429 kepala daerah hasil Pemilukada yang terjerat kasus korupsi. Motif korupsinya bermacam-macam, yang paling banyak dibidang perizinan. Hal ini memperlihatkan betapa rusaknya kepala daerah yang dipilih dari pemilukada.
Berbeda dengan Pilkada yang membatasi itu. Seperti dalam UU 22/2014, ada ketentuan yang sangat jelas untuk menggunakan politik uang sebagai imbalan, apabila terbukti, maka calon bisa didiskualifikasi.
Begitupun dengan parpol pengusung, akan dibatasi hak politiknya. Pengaturan yang demikian akan mudah untuk diawasi ketimbang mengawasi rakyat yang banyak.
Sehingga dengan demikian, efektivitas Pilkada lebih menjamin demokratis daripada pemilukada yang dipenuhi dengan korupsi dan kolusi.
Kelemahan Pilkada itu terdapat dua hal, yaitu hanya terbatas pada elite, tidak melibatkan masyarakat.
Kalau terjadi transaksi uang dan tidak terbaca penegak hukum, maka menguntungkan segelintir orang (partai politik lebih diuntungkan).
Kedua, calon kepala daerah terbatas hanya pembicaraan elite dan rakyat tidak terlibat secara langsung.
Begitu juga pemilukada, memiliki beberapa kelemahan. Pertama, calon harus mengeluarkan uang yang besar dengan membayar partai politik dan juga membayar pemilih sehingga terpaksa menggunakan oligarki.
Kedua, bisa menimbulkan pembelahan sosial di masyarakat. Ketiga, negara harus menyiapkan anggaran besar untuk menyediakan pelaksanaan Pemilukada.
Keempat, bagi petahana, potensial terjadi penyalahgunaan wewenang birokrasi untuk dijadikan alat politik.
Dari kelemahan dan kelebihan tersebut, para pembuat kebijakan (politik hukum pemerintah) menimbang dan memilah bagaimana baiknya pemilihan kepala daerah diselenggarakankan.
Namun kalau boleh, melalui tulisan ini, akan lebih baik pemilihan itu dikembalikan ke DPRD, supaya kita tidak terjebak pada euforia pesta demokrasi, tapi tidak memberikan substansi bagi demokrasi dan kemajuan daerah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.