Demikian pula ATC Singapura harus menjamin suatu Block Clearance untuk memprioritaskan penerbangan militer di wilayah Indonesia.
Terakhir, pengoperasian fasilitas SAR di wilayah Riau dalam FIR Singapura tetap dilaksanakan oleh militer Belanda di wilayah Indonesia. Itu adalah komitmen hitam di atas putih yang tercantum dalam dokumen RAN Meeting tahun 1948.
Dalam perkembangannya kemudian, keluar Undang-Undang No 1 tentang penerbangan yang salah satu pasalnya menyebutkan bahwa 15 tahun setelah UU tersebut diundangkan, maka pendelegasian wilayah udara teritori Indonesia kepada pihak asing harus diakhiri.
Berikutnya pada September 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar FIR yang selama ini dikuasai oleh Singapura segera diambil alih dan meminta kementerian terkait mempersiapkan peralatan dan personel untuk mengelola ruang udara dimaksud.
Selanjutnya pada September 2022, keluar penjelasan Presiden Jokowi bahwa dengan penandatanganan perjanjian FIR, ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia. Terutama di perairan sekitar Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna.
Sementara itu yang beredar luas tentang isi perjanjian FIR antara lain adalah sebagian wilayah pada FIR yang kini diambil alih Indonesia masih akan tetap dipegang atau dikuasai oleh Singapura.
Pelayanan Jasa Penerbangan (PJP) di ketinggian 0 – 37.000 kaki didelegasikan kepada otoritas penerbangan Singapura selama 25 tahun kedepan dan akan diperpanjang.
Mengamati isi perjanjian, maka sangat jelas terdapat banyak ketidaksesuaian antara instruksi dan penjelasan presiden dengan apa yang tercantum dalam isi perjanjian.
Banyak pertanyaan muncul antara lain mengapa harus didelegasikan dan mengapa pula harus 25 tahun dan diperpanjang.
Pendelegasian kewenangan mengelola PJP pasti terkait dengan kemampuan otoritas penerbangan Indonesia yang mungkin saja dinilai tidak atau belum mampu.
Untuk hal ini batahannya sederhana sekali karena bisa dilihat dari hasil audit keselamatan penerbangan internasional yang dilakukan dalam rangka USOAP (Universal Safety Oversight Audit Programme) oleh ICAO (International Civil Aviaiton Organization) pada 2017.
Dinyatakan bahwa nilai efektivitas implementasi Indonesia mencapai 81,15 persen yang berarti berada jauh di atas rata-rata efektivitas implementasi negara-negara lain di dunia yang hanya mencapai 62 persen.
Artinya adalah Indonesia tidak hanya mampu dalam mengelola PJP, tetapi memiliki kemampuan yang jauh melampaui rata-rata dunia.
Di samping itu, AIrNav Indonesia sebagai penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan telah berulang kali menyatakan kemampuan mereka dalam hal pengambilalihan FIR Singapura. Dengan demikian, klaim tentang kemampuan Indonesia menjadi tidak valid.
Alasan berikutnya mengapa harus didelegasikan adalah karena padatnya traffic keluar masuk Singapura ke dan dari Indonesia sehingga PJP harus didelegasikan ke Singapura.
Dalam hal ini realitanya kepadatan traffic jauh lebih banyak berada pada jalur penerbangan ke dan dari utara Singapura yang berbatasan dengan Malaysia.
Pada kawasan tersebut justru batas FIR Singapura dan Malaysia sama dan sebangun dengan batas teritori kedua negara. Artinya tidak ada FIR Singapura di Malaysia yang traffic-nya jauh lebih padat.
Dengan demikian, maka alasan kepadatan traffic menjadi gugur dengan sendirinya.
Selanjutnya mengapa harus 25 tahun dan diperpanjang. Sangat masuk akal bahwa pada setiap perubahan membutuhkan masa transisi untuk penyesuaian.
Akan tetapi masa 25 tahun dan diperpanjang terasa agak aneh dan mengundang pertanyaan juga.