Publik tidak rela jika kasusnya ditutup-tutupi atau direkayasa kembali seperti pada awalnya. Apalagi dengan memanfaatkan orang-orang penting yang selama ini idealis dan berintegritas dalam penegakan hukum (pemberantasan korupsi).
Sebetulnya publik lebih berharap kedua pengacara itu membela Brigadir Yosua sebagai korban tindak pidana.
Keberpihakan pada pelaku dianggap cenderung pragmatis, sedangkan berpihak pada korban dinilai idealis. Apalagi memang pelaku dalam hal ini termasuk orang kuat, mantan pejabat tinggi yang memiliki pundi-pundi uang.
Keberatan publik pada keberpihakan Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang sebagai pengacara Ferdi Sambo dan istrinya tidak memiliki dasar kuat serta hanya bersifat himbauan (emosional).
Tidak ada aturan yang melarang keduanya menjadi pengacara pelaku kejahatan. Mereka boleh memilih kliennya sendiri dengan latar belakang kaya, miskin, pelaku, korban, pejabat ataupun rakyat jelata. Mereka juga boleh menerima honor dari jasa hukum yang diberikan.
Mengutip Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2003 disebutkan “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya”.
Demikian pula dalam Pasal 18 ayat 1 diterangkan “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya tidak membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya”.
Sedangkan Pasal 21 ayat 1 menjelaskan bahwa “Advokat berhak menerima honorarium atas jasa yang telah diberikan”.
Di pihak lain, pelaku (Ferdi Sambo dan Putri Candrawati) yang sedang terjerat hukum tidak dilarang menggunakan jasa pengacara.
Mereka adalah tahanan layaknya yang lain, memiliki hak sebagaimana dilindungi dalam pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, yang berbunyi “Tahanan berhak menghubungi dan didampingi pengacara”.
Sangat vitalnya fungsi dan peran pengacara bagi pelaku (tersangka) dalam proses peradilan pidana sehingga negara pun berusaha menyediakan bantuan hukum bagi setiap kaum yang tidak mampu sekalipun.
Bahkan pada kasus tahanan anak tidak dapat diproses di pengadilan jika tidak didampingi pengacara (dalam SPPA).
Negara menurut Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2022 menyediakan 619 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) gratis bagi golongan masyarakat kurang mampu.
Perbedaannya pelaku dalam kasus ini bukan berasal dari golongan yang tidak mampu. Sehingga tidak mungkin bisa menggunakan jasa Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang bersifat cuma-cuma. Jadi menyewa pengacara sendiri yang berbayar adalah alasan logis.
Menjadi pengacara di pihak pelaku kejahatan memang nonpopulis. Sangat berisiko mendapat tekanan dan bahan bullying dari khalayak.