Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mokh Khayatul Rokhman
Pegawai Negeri Sipil

Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda Balai Pemasyarakatan Kelas I Yogyakarta

Mencermati Pendampingan Hukum Kasus Ferdy Sambo

Kompas.com - 05/10/2022, 15:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AKHIR September 2022, dua eks pegawai KPK mendadak jadi trending topic di media berita dan media sosial. Keduanya adalah eks juru bicara KPK, Febri Diansyah serta eks kepala bagian perancangan peraturan dan produk hukum KPK, Rasamala Aritonang.

Sebetulnya nama mereka sudah sering menghiasi halaman depan media. Artinya memang merupakan publik figur yang sudah dikenal dan dekat dengan khalayak. Sudah sering menjadi narasumber dan aktif di berbagai media massa.

Menariknya mereka sekarang tampil berbeda dari biasanya, tampil dalam frame nonpopulis.

Berbagai pihak mencurahkan kekecewaan atas bergabung Febri dan Rasamala dalam tim hukum Ferdi Sambo dan istrinya, Putri Candrawati.

Publik bertubi-tubi mengungkapkan rasa penyesalannya atas keputusan itu. Tidak terkecuali rekan-rekannya sesama eks pegawai KPK.

Adalah Novel Baswedan dan Yudi Purnomo yang selama ini mendukung karir Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang sebagai pengacara di Visi Law Office. Kini ikut menyayangkan dan meminta Febri serta Rasamala segera mundur dari tim pengacara Ferdi Sambo dan istrinya.

Demikian pula ICW, tempat Febri Diansyah sebelum di KPK, melalui Kurnia Ramadhana tidak ketinggalan menyampaikan keberatannya.

Alasan pokok dari penolakan itu karena posisinya sangat tidak populis. Kasusnya penuh intrik dan rekayasa dari pelaku.

Tersangka Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi saat menjalani rekonstruksi kasus pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Tim Khusus (Timsus) Polri menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.(KOMPAS.com/KRISTIANTO PURNOMO) Tersangka Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi saat menjalani rekonstruksi kasus pembunuhan Brigadir J di rumah dinas Ferdy Sambo, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Selasa (30/8/2022). Tim Khusus (Timsus) Polri menggelar rekonstruksi kasus pembunuhan berencana Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Sebagaimana telah kita ketahui, awal mulanya hanya kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Yosua. Kemudian melebar kemana-mana mulai dari perselingkuhan, pelecehan, rekayasa (obstruction of justice) hingga aroma adanya mafia perjudian.

Semua prasangka itu memang belum teruji kebenarannya. Akan tetapi hasil dari sidang kode etik telah menunjukkan Ferdi Sambo dinyatakan bersalah.

Akibatnya pelaku dipecat dengan tidak hormat dari institusi kepolisian. Bahkan pada akhirnya menyeret banyak personel kepolisian lain yang kini menjadi pesakitan di ruang tahanan.

Saking ruwetnya kasus ini hingga mengundang atensi Presiden Joko Widodo, yang langsung memerintahkan Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo untuk segera mengusut hingga tuntas.

Khalayak begitu antusias mengikuti perkembangan proses hukum ini. Oleh karena itu, menjadi ujian bagi kredibiltas dan integritas bagi Polri di mata masyarakat.

Publik berharap kasusnya berjalan dengan adil dan transparan. Hal itu akan menjadi simbol harapan baru bagi penegakan hukum pidana di masa depan yang terbebas dari rekayasa.

Masuknya dua orang eks pegawai KPK sebagai pengacara Ferdy Sambo dan istri bagaikan pukulan balik (bumerang) bagi harapan publik.

Publik tidak rela jika kasusnya ditutup-tutupi atau direkayasa kembali seperti pada awalnya. Apalagi dengan memanfaatkan orang-orang penting yang selama ini idealis dan berintegritas dalam penegakan hukum (pemberantasan korupsi).

Sebetulnya publik lebih berharap kedua pengacara itu membela Brigadir Yosua sebagai korban tindak pidana.

Keberpihakan pada pelaku dianggap cenderung pragmatis, sedangkan berpihak pada korban dinilai idealis. Apalagi memang pelaku dalam hal ini termasuk orang kuat, mantan pejabat tinggi yang memiliki pundi-pundi uang.

Dasar hukum

Keberatan publik pada keberpihakan Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang sebagai pengacara Ferdi Sambo dan istrinya tidak memiliki dasar kuat serta hanya bersifat himbauan (emosional).

Tidak ada aturan yang melarang keduanya menjadi pengacara pelaku kejahatan. Mereka boleh memilih kliennya sendiri dengan latar belakang kaya, miskin, pelaku, korban, pejabat ataupun rakyat jelata. Mereka juga boleh menerima honor dari jasa hukum yang diberikan.

Mengutip Pasal 15 UU No. 18 Tahun 2003 disebutkan “Advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya”.

Demikian pula dalam Pasal 18 ayat 1 diterangkan “Advokat dalam menjalankan tugas profesinya tidak membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya”.

Sedangkan Pasal 21 ayat 1 menjelaskan bahwa “Advokat berhak menerima honorarium atas jasa yang telah diberikan”.

Di pihak lain, pelaku (Ferdi Sambo dan Putri Candrawati) yang sedang terjerat hukum tidak dilarang menggunakan jasa pengacara.

Mereka adalah tahanan layaknya yang lain, memiliki hak sebagaimana dilindungi dalam pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP, yang berbunyi “Tahanan berhak menghubungi dan didampingi pengacara”.

Sangat vitalnya fungsi dan peran pengacara bagi pelaku (tersangka) dalam proses peradilan pidana sehingga negara pun berusaha menyediakan bantuan hukum bagi setiap kaum yang tidak mampu sekalipun.

Bahkan pada kasus tahanan anak tidak dapat diproses di pengadilan jika tidak didampingi pengacara (dalam SPPA).

Negara menurut Kementerian Hukum dan HAM pada tahun 2022 menyediakan 619 Organisasi Bantuan Hukum (OBH) gratis bagi golongan masyarakat kurang mampu.

Perbedaannya pelaku dalam kasus ini bukan berasal dari golongan yang tidak mampu. Sehingga tidak mungkin bisa menggunakan jasa Organisasi Bantuan Hukum (OBH) yang bersifat cuma-cuma. Jadi menyewa pengacara sendiri yang berbayar adalah alasan logis.

Pengacara pelaku

Menjadi pengacara di pihak pelaku kejahatan memang nonpopulis. Sangat berisiko mendapat tekanan dan bahan bullying dari khalayak.

Tidak cukup hanya bekerja profesional dan mengikuti aturan main. Sama sekali tidak ada niat untuk melakukan pelanggaran nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.

Padahal memang perannya sebagai pengacara hanya untuk mendampingi (membela) hak-hak dasar pelaku.

Hal itu sudah mendapat early warning dalam Pasal 18 ayat 2 UU Advokat yang berbunyi “Advokat tidak dapat diidentikkan dengan kliennya dalam membela perkara klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat”.

Sistem peradilan pidana menyediakan subsistem pengacara pelaku di dalamnya. Pengacara dalam hal ini bertugas memberi perlindungan hukum pelaku (tersangka) supaya tidak mendapat perlakuan sewenang-wenang (abuse of power) dari aparat hukum yang lain.

Proses pidana itu bersifat keras. Oleh karena itu, penyelesaian kejahatan melalui peradilan pidana adalah ultimum remedium (pilihan terakhir).

Meskipun dalam praktiknya di lapangan cenderung kita lihat masih menjadi pilihan utama (pokok dan satu-satunya) dalam penanggulangan kejahatan. Muaranya biasanya pelaku akan dipenjara. Hampir tidak pernah ada inovasi lain.

Alternatif penyelesaian di luar proses peradilan pidana masih jauh dari harapan, bahkan restorative justice hanya dilihat sebelah mata. Aroma balas dendam masih membayangi setiap penyelesaian kejahatan di Indonesia.

Hingga bisa kita lihat dalam kondisi penjara yang sudah kelebihan kapasitas. Data Sistem Database Pemasyarakatan (SDP Pulik) tanggal 5 Oktober 2022, menunjukkan jumlah penghuni rutan/lapas 275.699 orang. Sedangkan kapasitas hanya 132.107 orang atau kelebihan kapasitas 109 persen.

Posisi yang dialami Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang saat ini mengingatkan kita ketika keduanya masih di KPK saat memberikan tanggapan perlakuan terhadap pelaku kejahatan korupsi.

Mereka melontarkan kritik yang tajam terhadap lembaga lain yang fungsinya memberikan pembinaan narapidana. Kritik itu terutama menjawab pertanyaan terkait pemberian remisi dan pembebasan bersyarat koruptor.

Sudut pandang yang dipakai didasarkan pada institusinya sebagai penyidik dan penuntut umum. Padahal pihak yang dikritisi merupakan institusi pembinaan narapidana yang sedang menghadapi masalah tingginya kriminalitas dan kelebihan kapasitas.

Betapapun beratnya kejahatan yang dilakukan oleh klien Febri Diansyah dan Rasamala Aritonang, pendampingan hukum seyogyanya tetap diberikan dengan sebaik-baiknya.

Kita harus menghormati proses hukum karena Indonesia merupakan negara hukum dan bangsa yang beradab berdasarkan Pancasila.

Proseslah hukum kasus ini sesuai dengan aturan main karena kita bukan bangsa bar-bar yang suka memberlakukan hukum rimba.

Tentu kita tidak mau tercatat dalam sejarah sebagai orang yang suka melakukan praktik hukum rimba dan hanya menonjolkan balas dendam semata.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 7 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Gunung Raung Erupsi, Ma'ruf Amin Imbau Warga Setempat Patuhi Petunjuk Tim Penyelamat

Nasional
Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Cak Imin: Bansos Cepat Dirasakan Masyarakat, tapi Tak Memberdayakan

Nasional
Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Cak Imin: Percayalah, PKB kalau Berkuasa Tak Akan Lakukan Kriminalisasi...

Nasional
Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Gerindra Lirik Dedi Mulyadi untuk Maju Pilkada Jabar 2024

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati soal Susunan Kabinet, Masinton: Cuma Gimik

Nasional
Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Kementerian KP Perkuat Standar Kompetensi Pengelolaan Sidat dan Arwana

Nasional
Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Bupati Sidoarjo Berulang Kali Terjerat Korupsi, Cak Imin Peringatkan Calon Kepala Daerah Tak Main-main

Nasional
Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Wapres Ajak Masyarakat Tetap Dukung Timnas U-23 demi Lolos Olimpiade

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Gibran Ingin Konsultasi dengan Megawati terkait Susunan Kabinet

Nasional
Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Soal Dukungan PKB untuk Khofifah, Cak Imin: Kalau Daftar, Kita Sambut

Nasional
Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang 'Toxic'

Jubir Sebut Luhut Hanya Beri Saran ke Prabowo soal Jangan Bawa Orang "Toxic"

Nasional
Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Muslimat NU Kirim Bantuan Kemanusiaan Rp 2 Miliar ke Palestina

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang 'Toxic', Projo: Nasihat Bagus

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang "Toxic", Projo: Nasihat Bagus

Nasional
Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Buktikan Kinerja Unggul, Pertamina Hulu Energi Optimalkan Kapabilitas Perusahaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com